“Jangan takut tidak makan kalau berjuang untuk NU. Yakinlah! Kalau sampai tidak makan, komplain aku jika aku masih hidup. Tapi jika aku sudah mati, maka tagihlah ke batu nisanku!”
Sebagaimana yang tertulis dalam Anggaran Dasar NU Bab I pasal 2, bahwa NU didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 hijriyah, bertepatan dengan 31 Januari 1926. Peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ditetapkan dengan kalender hijriyah, tetapi tidak ada salahnya pada bulan Januari warga NU bersyukur atas jejak perjuangannya yang telah dilakukan selama ini. Bersyukur ini dalam rangka menggugah semangat perjuangan generasi penerus agar bisa selalu istiqomah dalam meneladani perjuangan para pendiri NU.
Menurut KH. A. Muchid Muzadi (2012), NU bukanlah organisasi sembarangan. Ibarat nyawa, nyawanya NU itu rangkap. Banyak yang tidak masuk akal namun terjadi di NU. Karena di NU masih banyak orang yang berhati ikhlas. Tentu saja, keikhlasan ini merupakan keteladanan yang telah dipraktekkan para pendiri NU.NU bukanlah organisasi sembarangan. Ibarat nyawa, nyawanya NU itu rangkap. Banyak yang tidak masuk akal namun terjadi di NU. Karena di NU masih banyak orang yang berhati ikhlas. Tentu saja, keikhlasan ini merupakan keteladanan yang telah dipraktekkan para pendiri NU. Tentu saja, keteladanan KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri dan lain sebagainya menjadi cermin yang sangat berharga bagi penerusnya.
Perjuangan KH Hasyim Asy’ari buat NU sudah tidak diragukan lagi. Beliau adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam membangun dasar-dasar perjuangan NU. Qonun Asasi yang beliau cipta menjadi referensi utama perjuangan NU. Bahkan, beliau juga rela di penjara Jepang karena membela keyakinannya. Apapun yag dimiliki, diberikan semua buat NU. Ilmunya yang luas dan jernih mengalir dalam diri para penerusnya. Bahkan pada saat itu, sebagian besar ulama di Jawa dan Madura adalah murid KH M. Hasyim Asy’ari.
Sementara KH A. Wahab Hasbullah adalah sosok kiai aktivis yang menggerakkan organisasi NU. Beliau adalah inisiator lahirnya NU. Rumahnya di kampung Kawatan, Surabaya, merupakan tempat lahirnya organisasi NU pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926. Beliau juga sosok yang telah mengkader anak-anak muda NU pada saat itu, lahirlah kemudian tokoh-tokoh besar dari tangan dinginnya, seperti KH. A. Wachid Hasyim, KH. Muhammad Ilyas, KH. Muhammad Dahlan, KH. Saifuddin Zuhri, KH Idham Kholid dan sebagainya.
Sementara itu, KH Bisri Sansuri dengan prinsip fiqhnya menjadi panutan yang penuh keteladanan. Dikenal sebagai penganut fiqh sepanjang hayat, KH Bisri Sansuri memimpin NU dengan keteguhan hatinya, sehingga NU tetap kuat dan kokoh di masa Orde Baru. Orangnya tegas, tetapi sangat tawadu’. Ketika beliau terpilih sebagai Rais Aam, sementara KH A Wahab Hasbullah masih sugeng (hidup), beliau menolaknya dan menyerahkan kepada KH Wahab, yang juga kakak iparnya. Saat itu, kesehatan Kiai Wahab sudah memburuk, tidak lama setelah muktamar, Kiai Wahab akhirnya wafat.
Keteladanan juga disuguhkan H. Hasan Gipo, Ketua Tanfidziyyah PBNU pertama (1926-1934). Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Walaupun orang kaya, Gipo adalah sosok yang sangat sederhana. Tetapi perjuangannya buat NU tidak sederhana. Rumahnya yang sederhana di Jl. Sasak No. 32, Surabaya dijadikan sebagai sekretariat PBNU mulai 1926- 1945. Padahal, H. Hasan Gipo sudah wafat tahun 1934.
Pencipta nama NU, KH Mas Alwi Abdul Aziz, juga sosok yang penuh keteladanan. Awalnya, beliau adalah seorang penjual warung nasi. Walaupun sudah belajar di berbagai pesantren, beliau tidak malu jual nasi. Orangtuanya juga seorang kiai yang terpandang. Karena diminta sahabat karibnya, KH Ridwan Abdullah, untuk membesarkan Nahdlatul Wathan, Kiai Mas Alwi akhirnya menjual warung nasinya dan diberikan semuanya untuk perjuangan. Kiai Mas Alwi dikenal seorang guru yang tekun, aktivis yang ulet dan tak mengenal lelah dengan perjuangan.
Sementara KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, dikenal sebagai seorang kiai yang dermawan. Kiai Ridwan adalah seorang pelukis yang berbakat, juga seorang pebisnis toko kain dan jasa penjahit di Jl Kramat Gantung Surabaya. Apa yang dimilikinya tak pernah bermahal-mahal kalau untuk perjuangan di NU. Bahkan rumah mertuanya di Bubutan Surabaya diikhlaskan untuk pertemuan para kiai dalam membentuk komite hijaz. Rumah itu kemudian dipasrahkan sepenuhnya untuk NU. Kiai Ridwan masuk jajaran A’wan Syuriah PBNU periode pertama.
Sebagai seorang dermawan, banyak santri yang ketika mau mondok/nyantri selalu minta restu Kiai Ridwan. Ini disebabkan Kiai Ridwan tak pernah membiarkan anak yang mau mondok tanpa ada uang saku darinya. Karena itu, wasiatnya kepada generasi NU selalu dipajang di setiap pojok kantor NU. “Jangan takut tidak makan kalau berjuang untuk NU. Yakinlah! Kalau sampai tidak makan, komplain aku jika aku masih hidup. Tapi jika aku sudah mati, maka tagihlah ke batu nisanku!”.
Spirit perjuangan juga menyala dalam diri KH Abdul Halim, Katib Tsani PBNU, asal Majalengka. Beliau adalah penghubung para ulama. Dialah yang mendatangi seluruh kiai di pelosok pulau Jawa untuk mengantar undangan KH M. Hasyim Asy’ari ketika menjelang NU berdiri dan setelah berdirinya NU. Beliau seorang kiai sekaligus pendekar yang kaya raya, apapun yang dimiliki diberikan untuk NU. Banyak peninggalan madrasah yang didirikanya, selain di Majalengka, juga ada di Cirebon, Plered, dan Semarang. (madun)