Hukum, Santri, dan Cerutu

cerutu santri

Siang ini, suhu bumi mencapai 31 derajat celcius. Cloudy. Setelah turun sembahyang Jumat, ingatan langsung mengarah ke perempatan Tugu. Tadi pas menuju ke Kotabaru via Diponegoro dari arah barat, persis di sisi kiri bangjo, ada toko yang bagian depan-atasnya bertulis “Pria Punya Selera”.

Satu lagi ada tulisan “Jual Cerutu.”

Toko itu bertahan. Dari berbagai kebijakan penataan kota. Toko itu tetap eksis.

Dahulu, waktu masih menempuh S1 hukum di Bulaksumur, saya hanya memandangi saja toko itu. Membayangkan, “kayaknya enak ya mencerutu…”

Membayangkan saja. Tak lebih.

Maklum, kiriman cuma cukup untuk setengah bulan. Sisa harinya bertahan dengan “nebeng”.

Dahulu, waktu mondok di Tegal Besar, saya belajar mengolah asap.

Dimasukkan. Dikeluarkan.

Dimasukkan. Dikeluarkan.

Sehari sebatang.

Maklum masih belajar. Tirakat itu jadi kewajiban, kalau pingin berhasil. Kalau gak pingin, ya gak apa-apa. Woles saja.

Setelah hampir 20 tahun, akhirnya bayangan “Jual Cerutu” itu menyeruak sebelum sembahyang Jumat. Kemudian dieksekusi setelah sembahyang Jumat.

Kotabaru, 1 Februari 2019

Penulis: Hifdzil Alim, Ketua LPBH PWNU DIY.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *