Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Kulit Kambing
Kulit Kambing

Menyandingkan Pendapat Imam Abū Hanifah dan Imam al-Syāfi’i Tentang Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban: Usaha Meminimalisir Ekstensifikasi yang Berlebih.

Muqaddimah
Menjamurnya kajian keagamaan majlis ta’lim baik di masjid atau surau atau mushalla bak jamur di musim hujan yang hanya mengetengahkan kajian tauhid dengan implikasi tafsir kebencian dan klaim bid’ah sesat dan menyesatkan, sementara kajian amaliyah praktis fikih ubudiyyah jarang (bahkan mustahil) di sampaikan oleh pemateri yang hanya menang gaya baik teoris, verbalis maupun retoris, disinyalir sebagai pemicu adanya pertanyaan musiman yaitu tentang hukum menjual kulit hewan qurban wa ghairu dzālik.

Pemirsa..
Ammā ba’du..

Bacaan Lainnya

Sebagai sosok pemikir yang mampu mengkombinasikan dua arus pemikiran terutama dalam bidang fiqh, yaitu fiqh Hijaz yang dimotori gurunya Imam Malik, dan fiqh Baghdad yang dipelopori oleh Imam Abu Hanīfah, menjadikan imam al-Syāfi’i dikenal lebih elegan dan kadang ketat dalam pemikiran. Keberhasilan dalam menkompromikan gaya berfikir tradisional dan pemikiran rasional, menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat bersikap tengah tanpa berat sebelah serta kemampuan dapat memposisikan dirinya.

Maksud dari berfikir moderat jalan tengah dalam konteks ini adalah tentang hukum menjual daging atau kulit hewan qurban. Di satu sisi ia malarang keras menjual kulit binatang termasuk bulunya, di sisi yang lain ia juga membolehkan untuk dijual tapi dikembalikan untuk sarana atau fasilitas (kemaslahatan) umum.

Mensikapi problem tahunan yang selalu kontra produktif tentang hukum menjual kulit binatang qurban, di mana hasil penjualannya dibelikan daging untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya, sepertinya agak menarik dicermati pendapat Imam al-Syāfi’i sebagaimana Imam al-Nawāwi dalam al-Majmū’ Syarah al-Muhadzdzab beliau mengatakan:

واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره.

“Madzhab Syāfi’i dan para pengikutnya sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.

Lebih lanjut beliau mengatakan,

و لا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك

“Dan begitu pula dilarang menjadikan kulit dan sebagainya tersebut untuk upah bagi tukang jagal. Akan tetapi (yang diperbolehkan) adalah seorang yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya. Lihat Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawāwi, al-Majmu’, XIII: 397.

Sementara itu imam Taqiyuddin al-Hushni al-Husaini dalam Kifāyah al-Akhyār yang memaparkan pendapat Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Dimana Imam Hanafi membolehkan penjualan daging atau kulit kurban dengan catatan hasilnya disedekahkan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.

واعلم أن موضع الأضحية الانتفاع فلا يجوز بيعها بل ولا بيع جلدها ولا يجوز جعله أجرة للجزار وإن كانت تطوعا بل يتصدق به المضحي أو يتخذ منه ما ينتفع به من خف أو نعل أو دلو أو غيره ولا يؤجره والقرن كالجلد وعند أبي حنيفة رحمه الله أنه يجوز بيعه ويتصدق بثمنه وأن يشتري بعينه ما ينتفع به في البيت لنا القياس على اللحم وعن صاحب التقريب حكاية قول غريب أنه يجوز بيع الجلد ويصرف ثمنه مصرف الأضحية والله أعلم

“Untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu terletak pada pemanfaatan tubuh hewan qurban itu sendiri. Karenanya daging qurban tidak boleh dijual, bahkan termasuk menjual kulitnya. Bahkan orang yang berqurban tidak boleh memberikan kulitnya kepada penjagal sebagai upah penyembelihan hewan qurban meskipun qurban itu ibadah sunah. Orang yang berqurban boleh menyedekahkan kulitnya. Pilihan lain, ia boleh memanfaatkan kulitnya untuk membuat khuf (sepatu tak tembus air, terbuat dari kulit), sandal, timba, atau benda lainnya. Tetapi ia tidak boleh memberikannya kepada orang lain sebagai upah penyembelihan. Status perlakuan terhadap tanduk hewan qurban serupa dengan perlakuan terhadap kulit hewan qurban. Menurut Imam Hanāfi, orang yang berqurban boleh menjual kulit hewan qurbannya lalu menyedekahkan hasil penjualannya. Dengan hasil penjualan kulit itu, ia juga boleh membeli pelbagai keperluan yang bermanfaat bagi rumah tangganya. ‘Kami mengqiyasnya dengan daging.’ Penulis Taqrib menyebutkan pendapat yang tidak umum bahwa kulit hewan qurban boleh dijual dan orang yang berqurban itu mengalokasikan hasil penjualannya untuk para mustahik daging qurban sebagaimana lazimnya,” Lihat Taqiyyuddīn al-Hushni al-Husaini, Kifāyah al-Akhyār fi Halli Ghāyah al-Ikhtishār, Dar il-Ilmi, II: 195.

Mengkompromikan Dua Pendapat Yang Tampak Berlawanan (al-Jam’u wa al-Taufiq)

Jika memperhatikan pendapat al-Syāfi’i yang mengharamkan menjual kulit binatang qurban dan pendapat Imam Abu Hanifah yang sedikit melonggarkan dengan memperbolehkan menjual untuk kemudian di shadaqahkan kepada yang berhak, maka setidaknya perlu ditempuh kebijakan yang lebih elegan dan mengandung kemaslahatan bersama. Artinya jika terpaksa tidak ada yang mau memakan kulit tersebut (karena dengan melimpahnya daging qurban), maka bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain sebagai berikut diantaranya, dibuat rebana atau bedug, atau untuk kemaslahatan yang bersifat umum seperti masjid, mushalla dan fasilitas umum lainnya.

Atau mengacu pendapat Hanafi, hasil penjualan kulitnya bisa dibelikan untuk peralatan rumah tangga pada sarana fasilitas umum masjid mushalla seperti panci, sutil, wajan, piring, cendok, garpu, ember, lampu, karpet dan lain sebagainya. Sehingga ketika masjid atau mushalla mengadakan hajat keperluan acara-acara besar (seperti isra’ mi’raj, maulid nabi, nuzulul qur’an, buka puasa atau yang lainnya), tidak lagi disibukkan dengan meminjam peralatan rumah tangga itu ke warga sekitar. Hal demikian itu (dijual) jika tidak dari qurban bersifat nadzar. Kalau qurban nadzar atau qurban wajib maka harus tetap diberikan ke orang lain tanpa sedikitpun dijual. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Syarbini dalam kitab al-Iqna’. Sehingga panitia bisa memotong-motong kulit tersebut lalu dicampur dengan daging sehingga semuanya terdistribusikan kepada masyarakat. Termasuk bagi masyarakat yang kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk konsumsi tambahan bagiannya yang dalam bahasa sehari-hari tak ada daging krecek atau cecek-pun jadi.

Larangan ketat dan keras menjual daging qurban (termasuk bulunya) sebagaimana pendapat Imam al-Syāfi’i bukanlah tanpa sebab. Hal ini mengingat bahwa menjual kulit dan kepala hewan sebagaimana yang berlaku, bisa menjadikan qurban tersebut tidak sah. Artinya, hewan yang disembelih pada hari raya qurban hanya menjadi sembelihan/shadaqah biasa. Sehingga shahib al-qurban (orang yang berkurban) tidak mendapat fadlilah pahala berqurban sebagaimana hadis baginda Rasulillah SAW berikut ini:

قال البيهقي في الكبرى : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْعَدْلُ بِبَغْدَادَ , ثنا يَحْيَى بْنُ جَعْفَرِ بْنِ الزِّبْرِقَانِ، ثنا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَيَّاشِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ .اهـ أي لا يحصل له الثواب الموعود للمضحي على أضحيته

“Barangsiapa yang menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban bagi dirinya”. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berqurban atas pengorbanannya,” HR. Al-Baihaqi dan al-Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, VI: 121 dan Sunan al-Kubra Hadis Nomor 19233.

Kesimpulan.
Mengesampingkan pendapat al-Syāfi’i dengan cara mengambil pendapat Imam Abū Hanifah lalu dari pendapat Imam Abū Hanīfah diarahkan pada pemahaman bahwa diperbolehkan menjual kulit hewan qurban, lalu dari hasil penjualannya itu di belikan daging atau kambing lagi lalu di bagikan ke fakir miskin yang membutuhkan, justru memberi kesan adanya ekstensifikasi tafsir yang jauh dari maksud yang ditangkap oleh syari’. Karena sungguhpun kita paham bahwa dari hasil penjualannya itu semua dibagikan kembali kepada yang berhak baik berupa uang atau daging, toh tetap saja berawal dari adanya aktifitas transaksi jual beli. Padahal bukankah dalam hadis dan penjelasan di atas, yang dilarang adalah justru karena adanya kegiatan transaksi itu?

Wa Allāh A’lam bi Muraddihi.

“Selamat Bertugas, Jangan Lupa Pulang Bawa Kepala dan Kakinya Masing-Masing”

Tiba-tiba.. nyong takok marang ibu-ibu Jama’ah: “Ibu-Ibu… Idul Adha tahun ini njenengan ikut siapa buuu?” Di jawab: ‘in sya Allah ikut sapiii paaaak…’

Apaaaaaa? Ithikkiwiiiir…

Penulis: Mu’inan Rafi’, dosen Universitas Alma Ata Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *