Hizbullah, Laskar Rakyat-Santri yang Nasionalis

Oleh: Supriyadi, Guru di MA Ali Maksum Krapyak dan penulis buku Renaisans Islam

Barangkali, otak kita akan tertuju pada sebuah gerakan di Lebanon jika kita mendengar kata “Hizbullah”. Dalam konteks sejarah Indonesia, Hizbullah adalah sebuah gerakan rakyat santri yang dahulunya terhimpun untuk melawan kekuatan penjajah di Indonesia. Ini merupakan sebuah hal yang menarik karena umat Islam, terutama kaum santri, mempunyai andil besar dalam melawan para penjajah dan merebut kemerdekaan.

Bacaan Lainnya

Hizbullah berdiri secara resmi pada 14 Oktober 1944. Dengan kata lain, ketika itu Indonesia berada dalam pendudukan Jepang. Dengan berdirinya Hizbullah tersebut, umat Islam mendapatkan peluang yang besar untuk membenahi diri serta mengatur langkah dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Baik sebagai barisan untuk mengamankan agama Islam sendiri maupun sebagai alat untuk merebut kemerdekaan, keberadaan Hizbullah cukup menguatkan posisi umat Islam, meskipun tujuan pembentukannya mempunyai tendensi yang besar untuk membantu Jepang dalam menghadapi tentara sekutu.

Namun demikian, pengeboman kota Hitoshima dan Nagasaki di Jepang oleh pasukan Sekutu tidak bisa memberikan ruang bagi Jepang untuk tidak menyerah. Akhirnya, Indonesia pun merdeka pascapemboman tersebut dan Jepang angkat kaki dari Indonesia. Di satu sisi kemerdekaan, ternyata Belanda belum mau melepaskan Indonesia secara independen. Di saat itulah laskah Hizbullah yang disemangati oleh laskar Sabilillah beraksi dalam mempertahankan kemerdekaan.

Beberapa kali terjadi pergolakan fisik antara laskar Hizbullah dan Belanda. Di beberapa tempat yang dijadikan markas Hizbullah, bahkan diserang oleh Belanda. Tidak hanya itu, Belanda berusaha untuk meredakan Hizbullah yang menjadi tentara kuat rakyat yang menghalangi Belanda untuk merebut kembali Indonesia. Hizbullah ketika itu menjadi barisan dan garda terdepan dalam mempertahankan NKRI.

Peristiwa arek-arek Surabaya pun tidak bisa dilepaskan dari perjuangan laskar Hizbullah yang terdiri dari para santri yang mendapatkan restu dari para kiai yang tergabung dalam Sabilillah. Banyak santri dan kiai yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah datang ke Surabaya untuk menentang Belanda yang berhasrat menguasai Indonesia lagi.

Kesungguhan para kiai dan santri yang berhaluan NU tersebut dalam pertempuran di Surabaya pada Oktober-November 1945 menjadikan peristiwa tersebut luar biasa. Pihak Belanda dan Sekutu dengan peralatan modern dihadapi oleh para kiai dan santri beserta arek-arek Surabaya dengan peralatan ala kadarnya, seperti senjata rampasan dari Jepang yang sangat terbatas, bambu runcing, dan benda-benda lainnya.

Zainul Arifin, Sang Panglima

Beliau lahir tahun 1909 di Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera Utara. Kota yang terkenal karena produk kapur barusnya sejak 160 Masehi. Kota ini pun semakin harum karena telah melahirkan banyak ulama-ulama besar, diantaranya Hamzah Fansuri, seorang sufi yang terkenal dengan kitab tasawufnya.

Pengetahuan ke-militeran H. Zainul Arifin muda didapatkannya dari pelatihan militer pertama oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai Komandan Batalion Hizbullah dan kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah. Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, KH. Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur, membuat Hizbullah menjadi wadah lasykar rakyat yang disegani dan berwibawa.

Beliau pernah menduduki jabatan Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal (Sekjen) Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang. Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). KH. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkirkan para lasykar rakyat pejuang yang nasionalis.

Bahkan sejarah perjuangan luar biasa NU dan Hizbullah pun secara sistematis dikaburkan dari lembaran sejarah, seperti kritik seorang peneliti dan pemerhati Indonesia dari Belanda, Martin Van Bruinessen- NU tak pernah mendapat tempat memadai dalam berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan. Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar KH. Zainul tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kyai-santri berjuang semata-mata lillahi ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar nama baik, pangkat maupun jabatan. Hanya beberapa Lasykar Hizbullah yang diterima di TNI, bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.

Pada tahun 1947, KH. Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali di tanah air. KH. Zainul ikut bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar dimana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.

Ketika shalat Idul Adha tahun 1962 di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH. Zainul Arifin dan Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan
itu dilakukan oleh sisa-sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau menghancurkan Indonesia untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam insiden yang amoral itu, tetapi KH. Zainul Arifin bekas panglima Hizbullah itu mengalami-luka-luka. Dari peristiwa tersebut kesehataanya mulai memburuk dan beliau wafat pada maret 1963 dalam usia 54 tahun. Sebagai seorang pejuang, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan ketika itu beliau masih menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *