Oleh : Supriyadi, Guru MA Ali Maksum Krapyak Yogya.
Perbedaan pendapat di antara umat Islam kini telah memecah belah mereka. Terlebih lagi, perbedaan pendapat tersebut dibumbui dengan perbedaan pandangan terkait politik. Atau, mungkin sebaliknya juga, perbedaan pandang politik itu kemudian berusaha dibungkus dengan agama yang panggalian dalilnya disesuaikan dengan selera politik yang diusungnya. Jadi, antara politik dan agama justru dibenturkan.
Melihat realitas ini, saya teringat akan sebuah kisah perseteruan antara Abdullah bin Zubair dengan Bani Umayyah. Entah, kisah ini sesuai dengan kondisi umat Islam saat ini atau tidak. Begini kisahnya.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah, dia menunjuk putranya, Yazid bin Muawiyah, sebagai suksesornya. Ketika Muawiyah meninggal, banyak tokoh yang membaiat Yazid kecuali dua tokoh penting saat itu, yakni Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Mereka berdua merasa bahwa pengangkatan Yazid sebagai khalifah itu telah menyimpang karena pemilihan tersebut seharusnya dilakukan berdasarkan pemilihan sebagai kualifikasinya, bukan atas dasar kekeluargaan.
Yazid pun memaksa Husein dan Abdullah untuk membaiat dirinya, tetapi tetap saja mereka enggan untuk berbaiat kepadanya. Mereka berdua yang pada awalnya berada di Madinah pun pergi ke Mekkah dan berlindung di Ka’bah.
Kelak, Husein yang merupakan cucu Rasulullah Saw tersebut syahid di Karbala, kepala beliau dipenggal. Sementara itu, Abdullah masih bertahan dan dia mendapatkan dukungan dari masyarakat Mekkah. Abdullah tetap berpendirian untuk tidak membaiat Yazid sebagai khalifah yang memimpin umat Islam.
Ketika Yazid meninggal, dia digantikan oleh Abdul Malik bin Marwan. Abdullah juga enggan membaiat Abdul Malik karena kekhalifahan tersebut tidak didasarkan atas asas pemilihan, tetapi kekeluargaan. Di sisi lain, Abdullah pun mendapat dukungan dari sebagian umat Islam, terutama di Mekkah, untuk menjadi khalifah atau pemimpin bagi umat Islam di Hijaz.
Adanya dua kepemimpinan tersebut menyulut pertikaian. Pertikaian dalam bidang politik itu pun membawa-bawa agama sebagai dalil yang melegalkan aksi keduanya. Akibatnya, perang antara kubu Abdullah dengan kubu Abdul Malik (Bani Umayyah) pun meletus jua karena masing-masing merasa sebagai pihak yang benar atas dasar agama menurut pandangan masing-masing. Perang beberapa kali dilakukan di Mekkah sehingga Ka’bah pun mengalami kerusakan dan kemudian perbaikan lagi.
Dalam perang terakhir antara kedua kubu tersebut, pernah terjadi klaim kebenaran juga. Dalam perang tersebut, Abdul Malik mengutus Al-Hajjaj bin Yusuf (sebagaimana perang-perang sebelumnya) sebagai panglima perang Bani Umayyah. Ketika Al-Hajjaj dan pasukannya menyerbu Mekkah, petir menyambar-nyambar. Pasukan Al-Hajjaj pun banyak yang tersambar petir sehingga banyak yang meninggal di antara mereka. Mereka mengira bahwa itu adalah kemurkaan Allah lantaran mereka menyerang Mekkah yang di situ terdapat Ka’bah. Pasukan Al-Hajjaj pun takut dan mental mereka melemah.
Di sisi lain, pasukan Abdullah pun mengira bahwa pasukan Al-Hajjaj tersebut disambar petir karena mereka tidak direstui oleh Allah. Dengan demikian, pasukan Abdullah merasa bahwa diri mereka berada di pihak yang benar.
Namun demikian, tiba-tiba ada petir yang menyambar pasukan Abdullah. Banyak orang yang meninggal ketika itu. Melihat kejadian itu, Al-Hajjaj pun menyeru pasukannya yang mental mereka telah melemah bahwa pasukan Abdullah juga tersambar petir, oleh karena itu pasukannya berada di pihak yang benar dan direstui oleh Allah sementara pasukan Abdullah berada di pihak yang salah.
Ya, kedua pasukan mengaku sebagai pihak yang benar dan mengklaim direstui oleh Allah. Yang saya pahami, kisah tersebut menyiratkan perpolitikan yang dibungkus dengan agama sehingga terjadilah klaim kebenaran dalam beragama dan berpolitik. Dengan begitu, klam kebenaran itu sepertinya “subjektif”.
Entahlah, ini hanya pandangan saya yang tidak bijak. Jika Anda berbeda pandangan, jangan memusuhi saya karena saya tidak berjalan dalam hal politik. Saya hanya sekadar bercerita, bukan berpolitik, apalagi berijtihad.
Penulis Adalah Guru MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.