Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari Sering Menangis Ketika Menyanyikan Indonesia Raya

Kiai Hasyim Asy'ari Tebuireng

“Ulama-ulama kita sangat cinta NKRI. Mbah Hasyim Asyari sering menangis ketika menyanyikan Indonesia Raya. Bahkan, ada pencipta lagu nasional Indonesia yang berasal dari habib atau ulama. Makanya jika ada yang ingin mengganti Indonesia dengan negara Islam atau khilafah, maka sesungguhnya mereka tidak belajar sejarah dan mengingkari perjuangan dari ulama-ulama Nusantara,”

Demikian disampaikan KH. Adnan Anwar dua tahun lalu di sebuah acara yang digelar Lakpesdam NU Kota Blitar.

Bacaan Lainnya

Ucapan Kiai Adnan tersebut bukan tanpa alasan. Hadratusyeikh sangat mencintai Indonesia, seperti mencintai dirinya sendiri. Dalam setiap hembusan nafasnya, terselip doa untuk negara tumpah darahnya. Jejaknya dalam perjuangan dalam memerdekakan Indonesia tidak bisa disanggah lagi. Bahkan, seperti tergambar dalam film Sang Kyai (2013), Hadratusyeikh rela jari-jemarinya dipukul karena tidak mau hormat seikerei kepada kaisar Jepang. Itu menjadi salah satu bukti bahwa Hadratusyeikh berani mempertaruhkan nyawa demi negara Indonesia.

Dalam berbagai peristiwa penting negeri ini, ada campur tangan dari Hadratusyeikh. Seperti misalnya dalam proses penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta. KH. Mun’im DZ seperti dikutip NU Online mengatakan bahwa penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta adalah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari. Tujuh kata yang dimaksud yakni dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Tujuh kata tersebut berpotensi menimbulkan perpecahan karena NKRI tidak hanya terdiri atas satu golongan dan satu pemeluk agama. Lagipula yang berjuang juga tidak hanya umat Islam. Maka dengan kebijaksanaan Hadratusyeikh, tujuh kata itu dihapus. Selamatlah Indonesia dari perpecahan.

Pastinya, penghapusan tujuh kata tersebut tidak asal-asalan. Hadratuseikh melakukan tirakat. Seperti dikatakan Gus Muwafiq, di antara tirakat Kiai Hasyim ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfijuga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asy’ari membaca ayat terkahir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali.

Peristiwa penting lainnya adalah pertempuran besar 10 November 1945 di Surabaya. Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada 10 November tanpa adanya resolusi jihad NU yang dikeluarkan oleh Hadratusyeikh tanggal 22 Oktober 1945, yang saat ini diperingati sebagai hari santri.

“Ini konteksnya melawan Jepang dan tentara sekutu. Dari fatwa jihad Mbah Hasyim Asy’ari 22 Oktober 1945, pecahlah peperangan besar pada 10 November 1945 di Surabaya. Jadi, jika tak ada Resolusi Jihad yang digaungkan kaum santri, tak akan ada 10 November yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan itu,” ujar Agus seperti dikutip NU Online.

Sebagaimana diketahui, tanggal 15 September 1945, tentara Sekutu NICA mendarat di Jakarta. Tujuannya untuk melucuti sisa-sisa tentara Jepang yang kalang perang dari Sekutu. Sayangnya, NICA diboncengi oleh tentara Belanda. Tentu saja, semua orang tahu, bahwa saat itu, Belanda ingin menancapkan kembali kekuasaannya di bumi Nusantara yang baru saja merdeka dengan nama Indonesia.

Melihat gelagat buruk tersebut, Presiden Soekarno mengirimkan utusan kepada Hadratusyeikh di Jombang. Presiden Soekarno meminta fatwa Hadratusyeikh bagaimana hukumnya melawan tentara Belanda dan Sekutu. Soekarno merasa fatwa dari Hadratusyeikh penting artinya, karena pada waktu itu Hadratausyeikh adalah ulama besar pendiri NU yang disegani oleh seluruh Kiai di Nusantara sepeninggal Syaikhona Kholil Bangkalan.

Lagi pula, sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia belum memiliki tentara yang kokoh dan kuat. Maka diperlukan sebuah pemantik untuk menggerakkan seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan Indonesia. Dan pemantik itu berupa fatwa dari Hadratusyeikh yang di kemudian hari dikenal dengan nama Resolusi Jihad NU. Sekali lagi, tanpa adanya resolusi jihad NU, tak akan ada pertempuran besar 10 November 1945 di Surabaya yang diperingati sebagai hari pahlawan.

Terakhir, Hadratusyeikh adalah pencetus dari jargon Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari Iman). Jargon tersebut-yang dianggap banyak orang sebagai hadis nabi-menjadi benteng ampuh untuk membendung segala bentuk gerakan merongrong NKRI hari ini.

“Slogan cinta tanah air itu asli fatwa dan Jargon dari KH Hasyim Asy’Ari pendiri N. Jargon  Cinta tanah air ulama Indonesia ini tidak dimiliki ulama ulama di negara manapun termasuk Timur Tengah,” ungkap Kiai Said dalam berbagai kesempatan.

Tentu saja, masih banyak lagi peran Hadratusyeikh dalam perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah. Saat ini, tugas kita melanjutkan perjuangan Hadratusyeikh dan para ulama lainnya. Jangan sampai negara ini jatuh ke dalam perang saudara. Negara Indonesia sudah sangat islami, dan sudah disetujui para ulama. Tak perlu lagi mendirikan negara Islam atau khilafah. Mari heningkan cipta, dan sejenak kita resapi dan rasakan makna lagu Indonesia Raya. Lagu yang membuat Hadratusyeikh selalu menangis ketika mendengarnya. Menangis karena begitu mencintai negeri tumpah darahnya, Indonesia. Merdeka! (Rokhim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *