Gusdurian atawa Cak Nurian: Apa Beda Gus Dur dan Cak Nur?

murid cak nur

Tadi siang, Ahad 23 Desember 2018, murid-murid Cak Nur bertemu di rumah Yudi Latif. Awalnya sih niat makan bareng saja. Tapi lalu berkembang jadi diskusi seputar isu-isu yang lagi hot.

Api Islam Cak Nur (Nurcholis Madjid-red) mau dinyalakan lagi di ruang publik dengan menghidupkan simpul-simpul Cak Nurian di berbagai daerah. Seperti halnya Gus Dur, Cak Nur pun punya murid-murid ideologis (langsung maupun tidak) yang tersebar terutama di kampus dan komunitas-komunitas epistemik.

Jadi ini juga untuk melengkapi gerakan Gus Durian yang sdh tersebar di berbagai kota dan berperan dlm menjaga moderasi Islam. Maklum Cak Nur dan Gus Dur “diutus” oleh Tuhan dalam satu paket, hehe… Atau dalam kata-kata Gus Dur sendiri: “Beda saya dan Cak Nur itu cuma satu, dia angkutan perkotaan dan saya angkutan pedesaan.”

Ruang publik perkotaan yang dulu diisi oleh jenis keislaman yang terbuka, santun, dan intelek ala Cak Nur melalui Paramadina, sekarang diisi oleh ekspresi keislaman fundamentalistik dengan retorika yang keras. Kebangkitan fundamentalisme ini persis yang dulu pernah diramalkan oleh Cak Nur dan Gus Dur. Dan keduanya sepakat bahwa fundamentalisme bukan masa depan Islam.

Dengan mengaktifkan simpul-simpul Cak Nurian di setiap penjuru, bersama-sama dengan Gus Durian, diharapkan wajah Islam Indonesia kembali seperti yang pernah digambarkan majalah Time: “Islam with a smiling face”. Cak Nur dan Gus Dur itu seperti “doktrin dan peradaban” untuk Islam yang berwajah humanis tersebut.

Penulis: Gaus Ahmad, murid Cak Nur

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *