Gus Ishom: Membaca Hikmah Di Balik Gegernya Peristiwa 411 dan 212

Kiai Ishom

Oleh: KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU.

411 dan 212 bukan kebetulan. Peristiwa politik di tanah air kita, baik yang telah, sedang, atau akan berlangsung, sering kali tidak terbebas dari kegaduhan yang terkadang terasa mencemaskan.

Tentu banyak di antara kita yang belum lupa akan kontestasi politik yang bergejolak karena panasnya menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dan demikian pula menjelang pemilihan Presiden RI. Perseteruan sengit antar pendukung tak terhindarkan. Bahkan emosi keagamaan para pemilih dieksploitasi dan dikapitalisasi untuk kepentingan politik praktis. Berita-berita yang bernuansa saling menjatuhkan bertebaran. Demonstrasi berjilid-jilid digelar, dan seterusnya.

Saya menyaksikan betapa dalam aksi demo 411 dan 212, yang saya sama sekali tidak terlibat di dalamnya, nuansa pemanfaatan emosi keagamaan sebagian umat Islam dikelola dengan canggih atas nama bela Islam dari kasus penistaan agama itu.

Saya tidak bisa melupakan peristiwa itu, karena saya adalah salah seorang yang dilibatkan langsung dalam penyelesaian kasus hukumnya, bukan terlibat dalam dukung mendukung soal politiknya. Dalam kasus tersebut saya diminta oleh terdakwa dan para pengacaranya sebagai saksi ahli agama yang meringankannya bahkan berani berbeda pendapat dengan KH. Ma’ruf Amin sebagai saksi fakta yang memberatkan dari MUI Pusat. Saat itu beliau masih menjabat Ketua Umum MUI Pusat dan juga sebagai Rais Aam PBNU.

Dalam kasus yang menghebohkan itu, saya juga sempat berbeda pendapat dengan KH. Miftahul Akhyar yang saat itu menjabat sebagai Wakil Rais Aam PBNU, sedangkan saya hanyalah seorang bawahan dalam posisi Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat dan Rais Syuriah PBNU, meskipun dalam kesaksian di Pengadilan Negeri itu saya tidak mewakili kedua organisasi tersebut, melainkan sebagai pribadi.

Ada hal yang ingin saya ceritakan, bahwa meskipun saya berbeda pendapat dengan kedua orang hebat di atas, namun saya tetap menaruh hormat kepada mereka. Saya ucapkan salam diiringi senyum saat saya berjumpa dan tak lupa bersalaman sambil mencium tangan beliau. Sedikit pun tak ada rasa benci yang bercokol di hati saya kepada beliau berdua. Meskipun saat itu terasa sedikit ada sekat karena perbedaan penafsiran, saya tetap “sowan” kepada Rais Aam sebagai pimpinan langsung saya. Bahkan saya sempat menggandeng tangan beliau untuk sekedar menunjukkan setelah demo 411, bahwa bukan kebetulan di pintu masuk ruang kantor beliau tertempel angka 411, sebagai petunjuk bahwa beliau berkantor di lantai 4 ruang 11 di Gedung PBNU di Jln. Kramat Raya 164 Jakarta Pusat. Dan saat itu pun beliau tersenyum dan menyatakan baru merasa baru tahu.

Selanjutnya ada peristiwa aksi demo 212 yang mungkin banyak orang hanya teringat dengan pendekar kapak naga geni Wiro Sableng murid Sinto Gendeng. Tetapi bagi saya angka 212 adalah angka “keramat” bagi Pak Jokowi yang mungkin bermakna 2 kali menjabat Wali Kota Solo, 1 periode sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan 2 periode menjadi Presiden RI.

Dan juga bukan kebetulan juga jika dikemudian hari ditakdirkan Tuhan bagi Bangsa Indonesia, bahwa KH. Ma’ruf Amin dari Gedung PBNU yang menempati ruang 411 menjadi Wakil Presiden terpilih mendampingi Bapak Jokowi yang 212 tersebut, dan saya lah yang juga ditakdirkan ikut mengantarkan beliau berdua saat mendaftar di KPU Pusat.

Nyatalah bahwa semua itu terjadi bukan karena kebetulan, dan semua ada tanda-tandanya. Sungguh jangan pernah ada kebencian di hati kita, karena semua bakal ada hikmahnya. Jangan saling membenci dan memutuskan tali persaudaraan meskipun kadangkala kita harus berbeda pendapat dan pendapatan dengan orang lain.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *