Gus Dur, PKB dan Politik Kaum Sarungan

Gus Dur dan PKB

Gus Dur, PKB dan Politik Kaum Sarungan

Setelah apa yang kita kenal sebagai peristiwa “reformasi” bergulir, kita kembali ke sebuah titik di mana demokrasi di Indonesia mengalami kematangannya. Seperti pada tahun 1955, hampir semua aspirasi sosial-politik-kultural dan bahkan keagamaan tersalurkan secara sebagaimana mestinya. Eksistensi partai politik sebagai peserta pemilu menjadi penting. Kedewasaan berdemokrasi adalah terletak pada bagaimana aspirasi dan berbagai kepentingan yang sebenarnya bersifat eksklusif dan partikular tersampaikan secara inklusif dan universal. Di sini kita mesti sadar bahwa politik, pertama, beranjak dari berbagai kepentingan yang bersifat partikular—bahwa manusia bukanlah malaikat. Dan kedua, pada akhirnya politik, ketika mesti masuk ke ruang publik, adalah soal negosiasi.

Saya kira dengan dasar itulah dahulu KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur (GD) menginisisasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1999. Keberhasilan sang cucu Hadlratussyaikh Hasyim Asya’ari ini, di bidang politik praktis, adalah melepaskan ketergantungan sebuah komunitas pada figur tertentu. Pada dekade 80-an, apa yang kita kenal sebagai nahdliyin telah mendapatkan modal kemandiriannya yang telah siap apabila sewaktu-waktu para figur besar telah tilar, baik secara metaforis maupun literal. Ada banyak kalangan nahdliyin muda yang pada waktu itu terjun ke dunia advokasi ataupun NGO yang telah menempa jiwa kemandirian mereka.

Terlepas dari konflik internal yang pernah mendera PKB, GD dan partai berlambang jagad ini telah memberikan kontribusi pada keberlangsungan apa yang disebut sebagai “nalar publik” (public reason). Secara internal kita sangat paham bahwa meski basis massa dan basis ideologis sekaligus kultur PKB adalah nahdliyin, tapi kenahdliyinan tersebut dapat diterima dan dihidupi oleh para kader ataupun simpatisan yang bahkan berasal dari kalangan non-nahdliyin sekalipun. Di sini kita menyaksikan bagaimana kalangan non-nahdliyin tersebut secara sukarela menghidupi habitus kenahdliyinan tanpa sedikitpun merasakan perbedaan maupun pertentangan. Selalu saja ada mekanisme tersendiri untuk membuat berbagai perbedaan dan pertentangan tersebut cair.

Secara eksternal, GD dan PKB berhasil menerjemahkan berbagai kepentingan praktis-partikularnya secara universal yang dapat diterima oleh publik yang luas. Tak salah seandainya waktu itu PKB, meski sekelas partai baru, mampu menggaet simpati publik yang luas. Dan yang lebih mengagetkan adalah bagaimana kalangan nahdliyin yang dahulu sering direndahkan sebagai kaum sarungan yang kolot mampu meraih tampuk kepemimpinan nomor satu di negeri ini tanpa adanya sedikitpun gesekan yang berarti. Proses peralihan tampuk kepemimpinan tersebut pun berlangsung secara mufakat. Nalar publik benar-benar terimplementasikan dengan baik kala itu.

Hal di atas tak dapat dilepaskan dari visi kebangsaan GD pada khususnya dan NU pada umumnya. Untuk meminjam istilah Renato Rosaldo, “cultural citizenship” itulah yang diperjuangkan oleh GD sepanjang hayatnya. Dalam kamus kalangan nahdliyin, cultural citizenship tersebut tersurat dalam jargon ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah yang selama ini menjadi pendekatan kemasyarakatan NU. Ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah merupakan penerjemahan berbagai kepentingan yang bersifat partikular untuk kemudian dikontestasikan dan dinegosiasikan di ruang publik. Ukuran keberhasilan sebuah nalar publik adalah sejauh mana aspirasi ataupun berbagai kepentingan partikular tersebut mampu meyakinkan publik yang luas yang bahkan menyentuh pula kepentingan golongan lawan selama kepentingannya tak menyalahi satu-satunya aturan main yang mesti ada di ruang publik Indonesia: Pancasila dan UUD 1945.

Di antara partai politik yang ada di Indonesia, hanya PKB yang sejauh ini mampu menerapkan apa yang disebut sebagai nalar publik. Keberhasilan GD dengan segala kiprahnya yang pernah menjadi orang nomor satu di republik ini adalah bukti nyata atas nalar publik tersebut. Tak hanya PKB dan kalangan nahdliyin, tapi juga kalangan muslim lainnya dan non-muslim yang pada waktu itu dapat menerima dengan lapang dada keterpilihan GD sebagai orang nomor satu di republik ini.

Tentu, secara personal, perjuangan GD untuk mengimplementasikan nalar publik tersebut pada akhirnya mesti dibayar oleh ketersisihan figurnya dari partai politik yang dibidaninya. Dan GD pun sadar bahwa suatu saat ia mesti pula berlapang-dada untuk merelakan ketersisihan figurnya tersebut. Bagaimana pun, GD—dengan segala keterbatasannya sebagai manusia—tetap mewariskan semangat demi kemaslahatan publik. Tipe kepemimpinan yang diwariskannya, beserta segala kekurangan dan kelebihannya, adalah tipe kepemimpinan progresif yang justru membuka ruang dan merelakan anak-anak besutannya melesat jauh melampaui dirinya.

GD seolah sudah siap andaikata ia menjadi sekedar tangga di mana anak-anak besutannya menaikinya untuk kemudian, setelah mereka sampai di atas, melupakan dan meletakkannya di sudut ruangan. Tapi tidak, PKB dan kultur nahdliyin tak pernah melupakan dan meletakkannya di sudut ruangan. Sesekali mereka juga tak jenak untuk selalu di atas, mereka butuh tangga itu untuk turun kembali ke bawah secara terhormat.

Penulis: Heru Harjo Hutomo (penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik)

*Tulisan ini tayang pertama kali di jalandamai.org dengan judul Gus Dur, Nalar Publik dan Berbagai Praktiknya di Indonesia

Karena berbagai wilayah Indonesia banyak terjadi kebakaran marilah kita berdoa Ijazah Minta Hujan dari Abah Guru Sekumpul, mari ikuti video dibawah ini:

______________

Semoga artikel Gus Dur, PKB dan Politik Kaum Sarungan ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua amiinn..

simak artikel terkait di sini

kunjungi juga channel youtube kami di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *