Memasuki abad ke-21, lahir generasi baru yang unik dan menarik. Generasi itu bernama generasi milenial. Mereka adalah generasi yang menikmati dahsyatnya teknologi yang memudahkan semua akses dan layanan, termasuk dalam hal bacaan. Generasi milenial ini hadir sebagai generasi berwajah baru yang sangat menentukan arah peradaban Indonesia masa kini dan masa depan.
Salah satu yang menarik dari generasi milenial ini adalah terkait literatur keislamaan yang mereka baca. Diseminasi penelitian literatur keislamaan generasi milenial inilah yang dirayakan dalam diskusi di Yogyakarta, 30 Januari 2018 ini. Diskusi penelitian ini dilakukan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Convey Indonesia, dan Ikatan Sarjana NU (ISNU).
Dalam diskusi ini, dihadiri oleh para pembicara antara lain, Prof. Noorhaidi Hasan, Dr. Suhadi, Dr. Roma Ulinnuha, Dr. fosa Sarassina. Sedangkan sebagai pembahas adalah Nendra Primonik dan Hairus Salim.
Dalam kesempatan ini, Prof Noorhaidi menegaskan bahwa penelitian ini dilakukan di 16 kota, yaitu Medan, Pekanbaru, Padang, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Palu, Mataram, Ambon dan Denpasar. Kota-kota ini dipilih dengan mempertimbangkan sebaran, tipologi, dan karakteristik penting yang melekat di dalamnya. Sebagai sampling dipilih pelajar sekolah menengah atas (SMA, SMK, MA) dan mahasiswa perguruan tinggi.
“Hasilnya ditemukan lima corak literatur keislaman yang umumnya diakses generasi milenial, yaitu literatur bercorak jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Kelima corak tersebut berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya. Dalam hal ini, literatur jihadi paling sedikit peminatnya, sedangkan Islamisme popular paling banyak diminati,” tegas Noorhaidi yang juga Ketua PW ISNU DIY.
Dalam penelitian ini juga ditegaskan bahwa literatur jihadi menggambarkan dunia saat ini berada dalam situasi perang sehingga menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan Islam. Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk langsung terhadap sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat ini. Sedangkan literatur islamisme popular mengusung tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam kehidupan yang dikemas dengan renyah, trendy, dengan corak fiksi, popular, dan komik.
Sedangkan Dr. Suhadi menegaskan bahwa generasi milenial berkecenderungan mengonsumsi bacaan yang instan. Kalau menginginkan sesuatu, mereka pengennya yang cepat dan mudah. Inilah yang mengantarkan mereka dengan bacaan-bacaan yang tidak mendalam, sebagaimana dalam literatur klasik.
“Kaum radikal mampu menyajikan bahan bacaan yang mudah dan ringan, sesuai dengan yang diinginkan generasi milenial. Walaupun tidak banyak yang membaca literatur jihadi yang berbahaya, tetapi mereka tetap berbahaya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan,” tegas Suhadi.
Makanya, bagi Suhadi, pemerintah dan masyarakat harus mengimbangi bacaan instan ini dengan hadirnya semangat baru bacaan kritis. Jangan sampai generasi milenial yang penuh guncangan ini menjadikan generasi muda Indonesia kehilangan daya dan kekuatan dalam membangun masa depan bangsa. (Amru)