Grand Syekh Al-Azhar di PBNU: Merasa Seperti di Rumah Sendiri (02)

grand syekh al-azhar

Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Terus-terang saya sangat menikmati dialog yang berlangsung di gedung PBNU tersebut; dialog yang mempertemukan dua karakter yang berbeda. Kyai Said mempunyai karakter yang ceplas-ceplos meledak-ledak, padahal merepresentasikan Islam Nusantara yang katanya lemah-lembut dan adem. Sedangkan Grand Syaikh Al-Azhar, Guru Mulia Prof. Dr. Ahmed el Thayyeb (GSA) orangnya kalem dan pembicaraannya runtut, padahal merepresentasikan Islam Arab yang dianggap kasar dan pemarah.

Karakter Kang Said menciptakan suasana segar dan hangat, sedangkan gaya GSA membuat pembicaraan tetap fokus terkendali. Kalau diumpamakan, hal ini bagaikan pertemuan unsur Yin dan Yang (meminjam istilah Filsafat China Klasik) yang membentuk kesatuan yang padu. Tidak heran kalau GSA merasa seperti di rumah sendiri, berkali-kali protokoler hendak menyudahi acara, tapi GSA malah yang minta waktunya ditambah untuk dialog dengan para hadirin saat waktu terus beranjak larut.

Mungkin salah satu faktor yang mendorong terwujudnya chemistry antara beliau berdua adalah karena beliau berdua satu jurusan spesialiasi keilmuan dan satu kecenderungan sufistik. Sebagai seorang professor Teologi & Filsafat Islam yang bertemu dengan kolega sejurusan, tidak heran kalau GSA sering menyelipkan terma-terma filsafat yang cukup berat bagi pemirsa awam, sebagaimana akan diekspos dalam rangkaian status ini, insya Allah.

“Ijinkan saya menjawab candaan yang hangat ini dengan candaan yang lain,” dawuh GSA.

“Andaikan Allah Ta’ala mengutus seorang Nabi (berdasarkan karakteristik umum sebuah bangsa), pastilah Dia akan mengutus Nabi tersebut di Indonesia, dari kalangan kalian (NU)… Hehehehe.  Tetapi Allah Ta’ala telah berkehendak untuk mengutus seorang Nabi terakhir yang membawa kerasulan untuk semua umat manusia; tanpa disekat oleh batas kebangsaan, ruang dan waktu. Berbeda dengan Nabi-nabi sebelumnya yang kerasulannya dibatasi oleh komunitas bangsa tertentu, tempat tertentu bahkan waktu tertentu,” lanjut GSA.

“Ajaibnya, Nabi terakhir yang diutus membawa rahmatan lil aalamin ini berasal dari bangsa Arab yang katanya mempunyai karakteris umum yang begundal, kasar dan suka menumpahkan darah. Maka, secara teologis kita wajib mencintai dan mengikuti Nabi Muhammad yang berasal dari bangsa Arab tersebut; keimanan kita menjadi tidak sah dan tidak benar tanpa itu.”

“Jangan lupa pula, yang membawa Islam damai ke sini adalah orang Arab. Andaikan tidak ada mereka ke sini, mungkin sampai sekarang anda semua bukan beragama/bermadzhab Islam apapun; mungkin kita akan berjumpa sekarang ini dan anda semua menganut madzhab apa ya namanya, mungkin madzhab Asia Tenggara (kuno)!.” Canda Grand Syekh Al-Azhar sambil tersenyum.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *