Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.
Sampai di sini, Kyai Said melontarkan sebuah intermezzo, seakan beliau ingin menceritakan salah satu kekhasan Islam Nusantara klasik, yang biasa menulis dengan huruf Arab pegon:
“Fadhilatus Syaikh, Politik itu kalau ditulis dengan huruf Arab, jadinya adalah: فوليتك. Dan bacaannya adalah: Fawallaytuka!”
“Apa itu, saya tak paham?” Tanya GSA, membuat Kyai Said mengulanginya lagi.
“Ohhh, bukannya itu ditulis dengan huruf ba’ (ب), bukan fa’ (ف)?”
“Kalau kita menuliskannya dengan huruf fa’ (ف), bukan dengan huruf ba’ (ب)” …. Membuat GSA tertawa ringan.
Dan ini adalah candaan khas para ulama yang mengandung makna tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit).
Secara tersurat itu menunjukkan perbedaan Islam Nusantara yang mentransliterasikan huruf P dengan fa’ (ف), berbeda dengan Islam Arab yang mentransliterasikannya dengan huruf ba’ (ب), atau Islam Persia yang mentransliterasikannya dengan huruf huruf pha (پ). Perbedaan grammatologis ini adalah kekayaan budaya dalam lingkup rumah global umat Islam.
Dalam tradisi linguistik Arab, kata “fa-Wallay-tuka” berasal dari akar kata (و ل ي); sebuah homonim yang mempunyai makna-makna yang saling bertentangan. Maka kata ini (فوليتك) bisa berarti: “Maka saya telah mengangkatmu” atau bahkan sebaliknya “Maka saya telah berbuat jahat kepadamu”; bisa juga berarti “Maka saya telah menghadapkan diri kepadamu”, atau sebaliknya “Maka saya telah memunggungimu”.
Dari sini, Kyai Said seakan ingin mengatakan bahwa Politik dalam kearifan lokal Islam Nusantara bagaikan pisau bermata dua: bisa menguntungkan dan bisa merugikan, bisa membawa kebaikan dan bisa pula menimbulkan kerusakan.
Di sisi lain, GSA adalah seorang filsuf Sufi, yang banyak keputusan beliau (khususnya yang berbau politik) ditentukan secara spiritual. Beliau meresponnya dengan mengubah huruf fa’ (ف) menjadi huruf ba’ (ب), hingga terbaca: “Biwaliyyatika” (بوليتك), atau dibaca “Biwilaayatika” kalau vokal panjang pada huruf lam bisa dituliskan menggunakan huruf ya’ tanpa titik Alif Maqshurah, meskipun yang terakhir ini agak aneh.
Dari sini, GSA seakan-akan menanggapi intermezzo Kyai Said dengan secara tersirat menyatakan: Politik itu bisa menjadi baik kalau dipimpin dengan barakah petunjuk spiritual waliyahmu (Wali perempuan), yaitu Ibumu atau istrimu yang ahli ibadah, atau petunjuk waliyahmu (Wali Agung) yang menjadi gurumu, atau dengan Wilayah-mu (Kewalianmu sendiri). WalLahu A’lam bish Showaab.