Grand Syekh Al-Azhar di PBNU: Jangan Ada Politisasi Agama! (05-B)

mazhab nahdliyyin

Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Grand Syekh Al-Azhar (GSA) terlihat juga memprediksikan bahwa NU seperti Al-Azhar yang tidak terlibat langsung dalam politik praktis, tetapi mempunyai pengaruh dan kekuatan politik. Dan ini terlihat dalam jawaban beliau terhadap fenomena yang disebut sebagai Islam Politik dan politisasi mimbar-mimbar agama.

“Agama harus menjadi inspirasi yang mengarahkan politik (agar menjadi kekuatan yang mewujudkan kebaikan). Sayangnya, (dalam praktek yang banyak terjadi): di saat agama bercampur dengan politik, maka (biasanya) politik mengotori agama dan agama merusak politik,” tegas beliau prihatin.

Mungkin itulah yang membuat beliau bersikap tegas menjadikan Al-Azhar sebagai lembaga yang apolitis. Dan ini terlihat di saat pemilu Mesir yang terakhir: Al-Azhar adalah satu-satunya lembaga besar yang tidak terlibat sama sekali dalam mobilisasi dukungan terhadap calon presiden.

Dalam sebuah pertemuan para ulama besar Mesir, GSA juga pernah membuat statemen: “Jangan tuntut saya untuk berpolitik praktis atau bersikap frontal dalam dinamika politik, tetapi tuntutlah tanggungjawab saya untuk pengembangan lembaga Al-Azhar, untuk santri-santri kita, dan juga untuk membela syariat Islam”.

Sikap ini membuat GSA dicintai oleh masyarakat yang diayominya, ketika beliau di-“obok-obok” oleh tangan-tangan penguasa yang ingin memaksakan kehendak, baik yang dulu dan maupun yang sekarang, maka serentak masyarakat akan bangun membela beliau.

“Sikap kita dalam masalah politik dan khilafah adalah sikap yang sejalan dengan Akidah Asy’ariyah, sebagaimana tertera di bagian-bagian terakhir buku-buku induk teologi Islam, seperti Kitab al-Mawaqif dan al-Maqashid: masalah ini termasuk masalah furu’iyat (cabang-cabang syariat), bukan masalah pokok keyakinan (yang bisa membuat penentangnya kafir),” tegas beliau.

“Kalau menurut hemat saya pribadi, kondisi sekarang membuat penegakan khilafah tidak masuk skala prioritas. Dunia sudah terbagi-bagi dalam batas-batas nation states: di darat, di laut, bahkan di udara pula. Kenapa kita capek-capek bertempur dan membangun kekuatan untuk melakukan pekerjaan yang saat ini termasuk sia-sia, hanya membuang waktu dan tenaga belaka?”

Kalau merujuk kepada kitab-kitab yang disinggung oleh GSA, maka kita akan mendapatkan bahwasanya mengangkat seorang pemimpin teknis itu wajib, agar sebuah kelompok (besar atau kecil) bisa berjalan secara teratur. Tetapi masalah kepemimpinan politik (al-Imamah dan al-Khilafah) bukan termasuk pokok keimanan, berbeda dengan teologi Syiah – misalnya – yang mengkafirkan orang yang tidak meyakini konsep Imamah dan Khilafah versi mereka!

Maka praktek teknis daripada kepemimpinan tersebut mengabsahkan perbedaan sebagai sebuah bagian dari furu’iyat Fikih Islam menurut madzhab Sunni. Sama seperti madzhab-madzhab fikih yang telah berbeda-beda dalam praktek teknis furu’iyat yang lain, seperti solat contohnya.

Perbedaan itu bisa terjadi baik dalam labelnya (namanya) dan maupun dalam praktek-substansialnya, sebagaimana ditunjukkan dalam perkembangan umat Islam sepanjang sejarah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *