Grand Syekh Al-Azhar di PBNU: Islam, Politik dan Khilafah (05-A)

grand syekh al-azhar

Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Dalam filsafat Peripatetik Islam (Al-Farabi dan kemudian dirumuskan lebih jauh oleh Ibn Sina dalam Al-Isyarat wat Tanbihat), seorang pemimpin seharusnya adalah seorang filsuf yang dalam dirinya telah menggabungkan kesempurnaan ilmu teoritis dan amal praksis. Tetapi dalam prakteknya, menurut Grand Syekh Al-Azhar (GSA), seorang pemimpin mempunyai dua tipikal yang dominan.

Meminjam istilah filsafat yang dibumikannya ke dalam realitas aktual, seorang pemimpin ada yang bertipikal sebagai Intelektus Agens dan ada yang bertipikal sebagai Produktif atau Poelitis Agens. Intelektus Agens adalah pemimpin yang ‘mulham’ dan ‘mulhim’ – dalam terma sufistiknya – , mendapatkan ilham dari Allah Taala dan bisa menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya untuk bergerak mencapai kebaikan absolut yang menjadi tujuan bersama.

Adapula pemimpin bertipikal Poelitis Agens yang pada prakteknya adalah manajer dan pekerja lapangan yang tidak mempunyai visi yang mandiri. GSA berasumsi bahwa Kang Said termasuk tipikal yang pertama, Intelektus Agens.

Karena itu, setelah mengetahui dan meyakini kesamaan platform antara NU dan Al-Azhar sebagai dua institusi Islam besar yang berakidah Asy’ari, bermadzhab sesuai madzhab yang empat dan bertasawwuf mengikuti teladan Imam Al-Junaid dan Hujjatul Islam al-Ghazali, kemudian secara aktual ingin menampilkan wajah Islam moderat yang ramah dan menebar kedamaian. Maka tidak heran kalau beliau mengajak NU untuk bersinergi.

“Nahdlatul Ulama (Kebangkitan para ulama) adalah nama sebuah nama yang bagus, tetapi kebangkitan ulama yang sejati baru bisa dikatakan terwujud nyata, atau dalam kata lain: menjadi NU Sejati, kalau kebaikan dan kedamaian yang menjadi misi semua ulama Islam tersebar di seluruh penjuru bumi,” kata GSA.

Ini  menyiratkan harapan agar NU bukan hanya organisasi yang mempunyai akar yang kuat dalam diri sembilan puluh satu juta anggotanya di Indonesia, melainkan juga tumbuh tinggi bercabang-cabang dengan dedaunan yang rimbun dimana-mana. Dan beliau sebagai representasi Institusi Al-Azhar yang merupakan lembaga Islam paling terkemuka di dunia siap mendukung dan memfasilitasinya.

Jadi GSA tidak menolak diksi “Islam Nusantara” yang beliau sebut sebagai “Madzhab Nahdlawiyin”. Sebagai seorang yang sudah mempelajari filsafat dan wacana pemikiran Barat serta mampu berkomunikasi aktif dengan beberapa bahasa negara Eropa, beliau tentunya sudah terbiasa dengan diksi-diksi seperti itu.

Beliau hanya menepis dengan santun inklinasi superioritas yang tersirat dari makna distinktifnya, dan – di sisi lain – beliau malah mendorong Madzhab Nahdliyin agar menjadi madzhab yang terbuka, bukan madzhab yang ekslusif, dan menyebarluaskannya menjadi kebangkitan ulama yang sejati: Ulama yang digugu dan diteladani, ulama yang didengarkan pandangannya dalam semua tingkatan strata sosio-politis, dan ulama yang mendunia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *