Apa sebenarnya yang terjadi, apa semacam pergesareran ideologi untuk mengubah pelajaran-pelajaran agama dengan memandang sudut pandang yang berbeda yang masuk ke dalam lapisan masyarakat, dengan cara yang sangat berbeda dan panampilan keartis-artisan, seperti tidak lagi memakai peci dan sarung tetapi hanya balutan surban di lehernya.
Demikian ditegaskan Najib Kailani, Peneliti Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dalam Pengajian Ahad Wage di Lantai 2 Kantor PWNU DIY (18/02).
Najib juga menjelaskan bahwa yang sering terjadi karena memang mereka bukan dari pesantren, mereka bukan santri tetapi mereka hafal al-Qur’an dan bermodal agama dari buku bcaan. Yang paling populer dari tokoh-tokoh mereka yang juga sering membuat buku yaitu Felix, ada juga tokoh ideal anak muda, yaitu gambaran Muhammad Al-Fatih, ini yang disebut literatur Tahriri yang menyampaikan paham Hizbut Tahrir meskipun tidak secara langsung mereka menyatakan dari pergerakan HTI.
“Ideologi-ideologi yang dipahami oleh anak-anak muda sekarang sehingga mudah sekali terbawa paham-paham radikal, yang anti terhadap pemerintah dan para ulama kita,” tegas Najib.
Sementara Munirul Ikhwan, juga Peneliti Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, menambahkan bahwa di Jember ada yang membangun sekolah-sekolah, sebenarnya mayoritas guru-gurunya orang NUdan jelas muridnya juga orang NU, tetapi menariknya adalah buku-buku yang mereka baca bukan bacaan NU.
“Buku yang mereka baca itu seperti novel ayat ayat cinta dan novel-novel lainya, bahkan buku-buku Felix juga ada di situ dan mereka membacanya. Jadi ternyata ada juga anak-anak muda kita yang baca buku yang ditulis oleh orang-orang yang bertolak belakang dari NU,” tegas Munir.
“Kalau dijember itu pondoknya gratis dan mereka didorong untuk kuliah dan diberikan beasiswa. Mereka membangun sekolah sekolah tinggi, mahasiswanya itu bukan dari Jember tetapi orang luar. Kenapa tidak ada intervensi dari pemerintah mengenai pondok-pondok salafi yang pelajaranya bertolak belakang dengan pemerintah,” lanjut Munir.
“Kalau dalam logika, pemerintah tidak ada yang perlu dihukum selama itu tidak melanggar hukum. Jadi ada beberapa yang kami sampaikan bahwa kaum salafi ini tidak lagi membid’ahkan, tetapi dengan tujuan untuk memasukkan ideologi mereka secara perlahan,” tambahnya lagi.
“Hasil riset kami di enam belas kota, bahwa ideologi yang berlatar belakang Hizbut Tahrir dan paham-paham salafi sudah tidak sanggup lagi untuk menunjukkan dirinya di tengah-tengah kaum terpelajar, meskipun masih banyak buku yang mereka sebarkan tetapi sekarang ini sudah banyak yang menolak,” tambah Munir dengan tegas.
Mau Kemana Kaum Muda?
Diskusi ini berlangsung penuh dinamika yang menarik. Ada mahasiswa yang bertanya terkait riset ini, apakah para dosen akan menularkan hasil riset ini kepada mahasiswa? Mahasiswa ini juga ingin mengetahui informasi tentang acara-acara NU supaya mereka bisa diakui keberadaannya di NU. Mahasiswa ini juga menanyakan bagaimana peran para kiai muda dalam mengaktualisasikan nilai-nilai NU dalam konteks kekinian, kepada generasi milenial.
“Sebenarnya kita perlu menguatkan kembali peran peran lesbumi. Untuk menampung anak-anak muda yang sekarang kita perlu menguatkan peran dan juga keterlibatan Lesbumi untuk menanpung anak-anak muda agar tiak terjerumus ke paham radikal. Kita juga butuh tokoh yang laris di pasaran untuk menunjang pemahaman mereka tentang bahaya khilafah dan bagaimana perannya untuk anak muda NU yang sekarang kehilangan tokoh muda di NU,” ini jawaban Pak Fahmi Akbar Idries, Wakil Ketua PWNU DIY terhadap pertanyaan mahasiswa tersebut.
“Sebenarnya kaum muda NU itu harus di godok lebih dalam. Risetnya itu juga harus terjun ke desa-desa jangan hanya di kota, supaya menyeluruh pemahaman peta NU- nya. Kalau dulu kita tidak pernah melihat terjemahan, tetapi kalau sekarang banyak sekali terjemahan yang terkadang banyak salahnya. Itu juga yang menjadi permasalahan,” kata Kiai Chasan Abdullah, Katib Syuriah PWNU DIY, menambahkan jawaban.
“Tidak semua isi buku itu memuat isi kaum salafi, tetapi bermuatan ideologi yang bakal menyatukan mereka dengan paham-paham Hizbut Tahrir, maka tergantung kita bagaimana cara kita menyadarinya bahwa itu tidak cocok bagi kita, apalagi anak muda sekarang,” tambah Pak Ahmad Rafiq, Wakil Sekretaris PWNU DIY ikut memberikan arah pemahaman.
Sebelum diskusi dimulai, Ngaji Ahad Wage dimulai dengan kajian aswaja yang diampu oleh KH Asyhari Abta, Mustasyar PWNU DIY. (amirudin)