Berita NU, BANGKITMEDIA.COM
SLEMAN – Kita sekarang bisa berbicara mengenai Ibnu Arabi secara menarik. Kenapa? Karena bisa dijadikan cermin dalam memahami adanya kecenderungan yang kuat terhadap agama dan kekerasan atas nama agama. Ini juga dibarengi lahirnya fenomena islamisme, dan ini banyak menggejala dilakukan anak muda hari ini.
Demikian ditegaskan Muhammad Yunus Masrukhin, Ph.D., Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam diskusi “Ibn Arabi for Millennial Generation” di Ruang Rektorat Lama lantai 3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (01/03). Acara ini terselenggara atas kerjasama Lakpesdam PWNU DIY dan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga.
“Apa yang terjadi pada anak muda sekarang ini? Dan itu berkaitan dengan pemahaman Ibnu Arabi yang akan kita kaji sekarang. Generasi milenial dicirikan sebagai generasi yang belum mapan dan kadang bingung dengan dirinya sendiri. Parahnya lagi mereka tertarik dengan isu-isu terhadap agama, padahal pengetahuan mereka sangatlah minim tentang agama, karena mereka lebih suka melihat ceramah dalam YouTube ketimbang mengaji ceramah ulama,” tegas Yunus yang juga alumnus Al-Azhar Mesir.
Yunus juga menegaskan bahwa kesalehan yang dimiliki oleh generasi milenial bisa dipotret dari perspektif pemikiran Ibnu Arabi. Potret keberagamaan generasi milenial lebih berorentasi kepada simbol-simbol agama yang dilakukan sehari-hari, seperti pemanggilan akhi wa ukhti dan adanya perempuan- perempuan yang memakai cadar.
“Inilah yang harus kita pahami lebih mendalam, terlebih dalam pengkajian ulang pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi. Ibnu Arabi lebih menekankan substansi dalam beragama, sehingga tidak terjebak dalam formalitas beragama. Ibnu Arabi juga memberikan pengaruh besar dalam pola berfikir dan bergerak ulama’ Nusantara. Dalam salah satu sya’irnya, Ibnu Arabi mengumandangkan cinta dalam beragama. Ini banyak dipraktekkan ulama’ Nusantara, sehingga Islam di Nusantara ini unik, menarik, sekaligus penuh makna,” lanjut Yunus yang menulis disertasi tentang Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi ini memang sosok yang melimpah keilmuannya, sangat luas dan mendalam. Sayangnya, kata Yunus, Ibnu Arabi ini hanya diakses kalangan tertentu di Indonesia, khususnya oleh ulama’ kharismatik saja.
“Ibnu Arabi ini juga hanya menjadi bahan kajian secara ilmiah di kampus, sehingga bacaan Ibnu Arabi yang ringan dan populis susah didapatkan. Situs-situs tidak banyak yang menyediakan bacaan Ibnu Arabi secara populis dan mudah dipahami. Inilah yang mesti dikaji ulang bersama sekaligus menjadi tantangan dalam menghadapi generasi milenial,” tegas Yunus begitu mantap.
Pelajaran Bersama
Selain Yunus, sebagai pemateri adalah Kiai Nur Kholik Ridwan, budayawan dan penulis produktif. Kiai Kholik menjelaskan bahwa pemikiran Ibnu Arabi di kalangan para sufi tidak terlalu diterima, salah satunya Imam Arrabbani yang menolak keras pemikiran Ibnu Arobi. Demikian juga di kalangan ahli fiqh (fuqoha’), Ibnu Arabi tidak diterima secara mutlak, ada juga yg menolak pemikiran Ibnu Arabi. Dan yang menerima pemikiran Ibnu Arabi, seperti Gus Miek dan Gus Dur.
“Kata Ibnu Arabi, Allah tidak mungkin dicapai dengan akal tetapi kita perlu ilmu untuk memahami Allah. Ibnu Arabi juga mengatakan bahwa seseorang bisa menjadi kholifah itu bisa dipastikan rohaninya matang,” tegas Kiai Kholik.
Kiai Kholik juga menegaskan bahwa manusia dalam berproses harus dilalui dengan matang. Makanya, manusia membutukan guru, biat tidak bingung dan salah langkah.
“Kalau ada orang yang berzikir tanpa guru mereka tidak akan mampu. Itulah maka kita butuh seseorang guru dalam mengurusi amalan kita,” tegas Kiai Kholik.
Kiai Kholik juga menegaskan bahwa inilah pelajaran bersama kita semua. Generasi milenial harus diarahkan mempunyai guru yang jelas, biar tidak bingung dalam memahami teks ajaran agama.
Diskusi ini dihadiri para pengurus Lakpesdam PWNU DIY, pengurus ISAIs UIN Sunan Kalijaga, para dosen muda, mahasiswa dan para aktivis muda. Berita Islam terkini (Amirudin)