FPI dan Gerindra: Membaca Peta Pergerakan Politik

Oleh: Abdu Adzim Irsad, analis sosial, alumnus Universitas Ummul Quro Makkah, tinggal di Malang.

Kira-kira 1.5 tahun yang lalu, usai khutbah Jumah saya diajak diskusi oleh seorang keturunan Arab Hadrami, beliau bernama Habib Muhammad Al-Haddad. Saya meyakini beliau termasuk durriyah Rasulullah SAW yang wajib dimuliakan.

Kemudian diskusi berjalan dengan renyah, sampailah pada sebuah pertanyaan yang asyik dan mengelitik. Beliau bertanya sederhana, “apa sampeyan setuju dengan Islam Nusantara?

Kemudian saya menjawab singkat dan diplomatis “saya kira tidak ada yang aneh pada Islam Nusantara. Wong semuanya sama persis dengan Islam pada umumnya. Saya-pun berusaha mengatakan “Islam Nusantara itu sejatinya adalah Islam di Nusantara” yang memiliki karakteristik ramah, santun dan mengedepankan nilai-nilah Islam Rahmatan Lil Alamin.

Kemudian beliau menjawab “Islam Nusantara itu sangat bahaya dan liberal. Salah satu tujuan utamanya adalah tidak suka terhadap Arab”. Mendengar ungkapan beliau, saya-pun menepis dengan argumentasi bahwa Islam Nusantara itu paling suka mencium tangan Dzurriyah Rasulullah SAW. Tidak satu-pun organisasi ke-Islaman di Indonesia yang mengajarkan cinta Arab dan dzurriyah Rasulullah SAW melebih NU. Sejak kecil, santri-santri diajarkan memuliakan keturunan Rasulullah SAW.

Bahkan, Islam Nusanatara itu paling istikomah di dalam menjaga bahasa Arab. Hampir semua mata pelajaran di pesantren-pesantren NU, pasti mengajarkan tata bahasa Arab, mulai Ilmu Nahwu dan sharaf. Keduanya itu inti dari mata pelajaran bahasa Arab. Bahkan, tata cara menulis saja menggunakan huruf Arab, walaupun membacanya “pegon”.

Kemudian diskusi ‘mbrentek’ masalah politik. Saya-pun berkata kepadanya “sampeyan lihat nanti, 2-3 tahun kedepan, Habib Rizik pasti akan ditinggal Gerindra”. Karena Gerindra, akan memanfaatkan Habib Rizik untuk kepentingan politik. Sedangkan NU, sampai kapan-pun tetap akan memuliakan Habib Rizik Shihab. Bagi NU, memuliakan Habib Rizik merupakan sebuah keniscayaan. Tidak cocok dengan gerakan Habib Rizik itu biasa. Namun tidak ada kamusnya, orang NU membenci Dzurriyah Rasulullah SAW.

Dalam masalah politik hanya dua pilihan, menjadi sabyek (pelaku) atau menjadi obyek (sasaran). Dalam filsafat ilmu Nahwu, menjadi fail (pelaku) atau menjadi maful (obyek).

Gerindra kerja sama dengan PKS, sampai-sampai keduanya dalam beberapa kesempatan mengatakan “kami bukan sekutu lagi, tetapi segajah”. Dalam politik, siapa yang lemah dan lengah akan menjadi obyek.

Dalam catatan agama, tidak ada ceritanya Prabowo memahami agama dengan baik, apalagi ingin menerapkan syariat Islam. Karena melihat Habib Rizik Shihab “benci” kepada Jokowi, dan juga “benci” kepada Islam Nusantara. Maka, itu menjadi celah yang renyah untuk semakin mendukung dan memperkuat Habib Rizik melawan Jokowi.
Walhasil, Gerindra berhasil memanfaatkannya.

Ngototnya Habib Rizik dan pendukungnya digunakan oleh Gerindra untuk mendukungnya menuju RI 1. Ijtima’ ulama berjilid-jilid dilakukan, tetapi semua itu semu. Semua fatwa dikeluarkan, seperti menuduh Jokowi PKI, Pro China, Islam Nusantara sesat, benci Arab.

Ketika Jokowi Terpilih

Saat itu, KH Ma’ruf Amin sosok yang tidak memiliki banyak pendukung, tetapi KH Ma’ruf Amin waktu itu menjadi Rais Aam Jamiyah Nahdatul Ulama. Sudah pasti kalangan Kyai Nusantara, santri akan mati-matian mendukung Kyai Ma’ruf Amin. Semua akan dipertaruhkan demi memenangkan KH Ma’ruf Amin. Saya-pun memiliki keyakinan bahwa KH Ma’ruf Amin akan menjadi wakil, mengingat beliau itu lulusan tebu Ireng, pesantren yang didirikan oleh KH Muhammad Hasyim Asyari.

Tanpa KH Ma’ruf Amin, Jokowi sulit mendapatkan tempat. Karena moyoritas pemilih itu dari Jawa Timur, Jawa Tenggah. Kyai Maemun Zubair, Habib Lutfi, dan sesepuh NU, terang-terangan mendukung Jokowi dan KH Ma’ruf Amin. Keluarga Gus Dur dan Gusudurian secara resmi juga mendukung Jokowi dan KH Ma’ruf Amin. Yenny Wahid bersama Khafifah mati-matian mendukung pasangan Jokowi dan Kyai Ma’ruf. Secara otomatis Muslimat juga mendukung. Kyai Kampung dan Muslimat ranting, sepakat memenangkan Jokowi KH Ma’ruf Amin.

FPI Merana, Gerindra Bahagia

Sudah biasa, NU kalau berjuang untuk NKRI habis-habisan. Darah dan nyawa akan dipertaruhkan demi kesatuan dan persatuan, seperti saat melawan Jepang, Belanda, pemberontakan Permesta, dan PKI. Apa memang sudah menjadi garis tangan NU, ketika sudah menang, selalu tidak mendapat bagian. Maklumlah, NU itu tidak boleh meminta-minta jabatan.

Sangat wajar jika sebagian dari pimpinan NU nesu (ngambek), karena tidak mendapat jatah menteri. Tetapi, itulah namanya politik. Gus Ipang, Yenny Wahid, yang NU seratus persen justru tidak mendapat apa-apa. Sementara, Prabowo dan Edi Prabowo yang selama ini menjadi lawan politik, mendapatkan jabatan yang renyah di kabinet Jokowi dan KH Ma’ruf Amin. Itulah realitas politik.

Nah, FPI mati-matian membela Prabowo, mengagungkan, bahkan dalam statemenya rela berkorban, tetapi sekarang merana. Ketika diminta memulangkan Habib Rizik, Gerindra berkata “itu bukan tugas Prabowo”. Akan-kan terus menerus menjadi obyek politik Habib Riziq?

NU, sampai kapan-pun akan tetap memuliakan Dzurriyah Rasulullah SAW. Beda pandangan politik bisa dalam tubuh NU, tetapi memuliakan dzurriyah Rasulullah SAW itu hukumnya wajib. Maka, satu-satunya harapan FPI adalah NU. Keduanya memiliki kesamaan, baik dalam teologai, madzab. Bedanya masalah gerakan politik. Hanya saja, NU, tetap setia terhadap NKRI walaupun berkali-kali tidak mendapat jatah menteri. Dan, yang terpenting KH Ma’ruf Amin menjadi wakil Presdien Republik Indonesia 2019-20124.

Malang, 10/11/2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *