Filosofi Pemimpin Ala Walisongo Menurut Gus Miftah
KH. Miftah Maulana Habiburrahman atau yang lebih akrab disebut Gus Miftah merupakan sosok dai nyentrik. Gaya penampilannya yang selalu mengenakan blangkon hitam, menjadi ciri khas tersendiri.
Gus Miftah ketika berceramah lebih sering menyampaikan kisah teladan wali yang jarang disampaikan kepada para jamaah atau kisah yang belum pernah ditulis dalam buku-buku sejarah. Kisah teladan wali tersebut beliau dapatkan langsung dari para guru waskito, orang-orang alim, serta orang-orang arif nan bijaksana. Salah satu kisah teladan wali yang pernah beliau sampaikan adalah kisah pertemuan tiga walisongo yang berdiskusi membahas filosofi kepemimpinan.
Dikisahkan, tiga walisongo yakni Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Muria dan Kanjeng Sunan Ampel melakukan pertemuan di suatu tempat. Mereka duduk bersama, berdiskusi serta bermusyawarah. Di hadapan mereka disuguhkan makanan, namun makanan tersebut hanyalah satu. Kemudian masing-masing dari mereka menamai makanan tersebut dengan nama-nama yang berbeda.
Kanjeng Sunan Muria menamai makanan tersebut dengan nama dadar gulung. Kanjeng Sunan Kalijaga menamai makanan tersebut dengan nama satria munjung. Sedangkan Kanjeng Sunan Ampel menamai makanan tersebut dengan nama enten-enten. Karena terdapat perbedaan penyebutan nama makanan yang ada di hadapan mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk berdiskusi.
“Wahai Kajeng Sunan Muria, mengapa engkau menamai makanan ini dengan nama dadar gulung?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga ke Kanjeng Sunan Muria.
“Saya menamai makanan ini dengan nama dadar gulung karena sesuai dengan sifat orang-orang islam, terlebih khusus sifat seorang pemimpin,” jawab Kanjeng Sunan Muria.
Apabila seorang pemimpin mempunyai suatu masalah, lanjut Kanjeng Sunan Muria, maka masalah tersebut haruslah didadar dan digulung. Didadar artinya masalah tersebut disampaikan kepada para anggota untuk dimusyawarahkan bersama-sama. Setelah mendapatkan solusi dari musyawarah, maka masalah tersebut bisa digulung. Digulung artinya masalah tersebut telah selesai.
Perintah bermusyawarah untuk menyelesaikan suatu masalah tercantum dalam firman Allah Swt., yakni dalam surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Setelah Kanjeng Sunan Kalijaga bertanya kepada Kanjeng Sunan Muria. Giliran Kanjeng Sunan Muria bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Wahai Kanjeng Sunan Kalijaga, mengapa engkau menamai makanan ini dengan nama satria munjung?”
“Satria itu sifat pemimpin yang bisa memuji orang lain. Sifat pemimpin yang lebih mengutamakan orang lain. Mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan golongan maupun kepentingan kelompok” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya.”
Kalau pemimpin bisa memuliakan rakyatnya, juragan bisa memuliakan karyawannya. Maka hal itu merupakan tanda-tanda datangnya ridha dari Allah Swt.
Terakhir, Kanjeng Sunan Kalijaga bertanya kepada Kanjeng Sunan Ampel.
“Wahai Kanjeng Sunan Ampel mengapa engkau menamai makanan ini dengan nama enten-enten?”
Kanjeng Sunan Ampel lantas menjawab pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” Qs. Al-Araaf ayat 34
Ajal itu artinya tidak hanya kematian tapi juga titi wanci (saatnya-red). Titi wanci tidak hanya ajal, melainkan bisa berarti jodoh, bisa berarti rezeki, bisa berarti pangkat dan jabatan. Apapun apabila belum datang ajalnya maka tidak dapat dipaksakan. Uang dikejar dengan cara bagaimanapun bila belum wancinya maka tidak akan tercapai. (Agus Sanjaya/rn)
Demikian ulasan khusus terkait Filosofi Pemimpin Ala Walisongo Menurut Gus Miftah. Semoga bermanfaat. Amin
*Disarikan dari Mauidhoh Hasanah Gus Miftah saat ngaji kitab Talim Muta’alim di Pondok Pesantren Ora Aji. Penulis adaah santri Gus Miftah yang sedang Magang Profesi di Majalah Bangkit dan Bangkitmedia.com