Feminisme dan Sensitivitas Ta’lim Muta’allim Terhadap Perempuan

Feminisme dan Sensitifitas Ta'lim Muta'allim Terhadap Perempuan

Feminisme dan Sensitivitas Ta’lim Muta’allim Terhadap Perempuan

Oleh: Fikri Hailal

Cinta adalah bentuk respon esoterik yang penuh makna. “Tanpa cinta, kehidupan terasa hampa”, begitulah ungkapan para pujangga yang sedang dilanda asmara. Diantara bentuk pengalaman cinta adalah jatuh cinta. Jatuh cinta merupakan bentuk pengalaman global yang tidak bisa dibendung oleh batasan gender, ras, ideologi, etnis, suku, maupun agama.

Pengalaman jatuh cinta atau perasaan kasih sayang; bisa dialami oleh siapapun, termasuk kaum feminis. Akan tetapi saat kaum feminis mengalami perasaan jatuh cinta atau kasih sayang, seringkali terjadi ketegangan diantara ideologi yang di pegang oleh kaum feminis dan sosial yang terjadi di lingkungan budaya patriarki. Sehingga para feminis, mengharuskan diri untuk melakukan kompromi dan bernegosiasi demi meredam hubungan tersebut.

Sebelumnya, kita bisa pahami terlebih dahulu apa itu feminisme? dan siapa yang disebut kaum feminis? Feminisme adalah berasal dari kata Feminin atau femininitas dari bahasa Prancis, femininine merupakan sebuah kata sifat, adjektif yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat perempuan. Feminisme merupakan aliran pergerakan wanita yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Gerakan dan ideologi ini, bertujuan untuk mencapai tingkat gender yang bernaung pada Hak Asasi Manusia.

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak wanita, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai (Perlakuan gender yang bernaung pada Hak Asasi) di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial (Laura Brunell and Elinor Burkett (Encyclopaedia Britannica, 2019): “Feminism, the belief in social, economic, and political equality of the sexes.).

Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut (Gamble, Sarah (2006) [1998]. “Introduction”. Dalam Gamble, Sarah. The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism. London and New York: Routledge. hlm. vii). Sebenarnya, gerakan feminisme ini merupakan gerakan yang dilakukan untuk memerangi gerakan stereotip gender, agar antara laki-laki dan perempuan mempunyai status emansipasi yang sama, baik dari segi pendidikan maupun dari segi profesionalitas.

Sensitivitas Ta’limu al-Muta’alim Terhadap Kasih Perempuan?

Merujuk kembali tentang fenomena sensitifitas gender yang terjadi di kalangan pesantren maupun pendidikan formal – lingkup perkuliahan dan sekolahan –, mengenai jalinan kasih yang tercipta diantara dua sejoli. Fenomena ini sering mengkambing hitamkan pihak perempuan sebagai pihak yang mengganggu atau sumber awal munculnya permasalahan. Seolah-olah pihak laki-laki adalah korban dari perempuan.

Padahal; jika dilogika, fenomena semacam ini jika dikaji secara dualisme. Peluang terjadinya jalinan kasih antara laki-laki dan perempuan adalah 50 : 50. Bisa kemungkinan peluang bersumber dari pihak laki-laki maupun bersumber dari pihak perempuan yang memberikan peluang atau malah bersumber dari keduanya yang saling bertukar peluang diantara keduanya.

Dalam sebuah sya’ir yang disampaikan oleh Syaikh al-Imam al-Ajal Najmu ad-Din Umar bin Muhammad Nasfi ketika menasehati anaknya yang sedang jatuh cinta –disini posisi sang anak sedang dalam masa mencari ilmu–:

سلام على من تيمتني بظرفها، ولمعة خديها ولمحة طرفها

سبتني وأصبتني فتاة مليحة، تحيرت الأوهام فى كنه وصفها

فقلت ذرينى واعذرينى فإننى، شغفت بتحصيل العلوم وكشفها

لى فى طلاب الفضل والعلم والتقى، غنى عن غناء الغانيات وعرفها

Artinya: “Semoga seseorang (pelajar) terselamatkan dari godaan perempuan, sebab sinar kedua pipinya dan pandangan matanya

Perempuan cantik nan manis yang telah tinggal dan tumbuh (dalam angan), yang membuat mabuk (aqal) pikiran sebab mensifatinya

Ku katakan (kepadanya) agar meninggalkanku dan menghindariku karena, aku sedang sibuknya menuntut dan mencari ilmu

Karena mencari ilmu dan menghasilkan ilmu adalah suatu keutamaan, serta keluhuran daripada terbuai lantunan suara serta wangi dirinya”. (Asy-Syaikh Az-Zarnuji, Ta’limu al-Muta’alim (Surabaya: Al-Haramain, 2006), 42).

Syair ini mengkisahkan bahwa anaknya Najmu ad-Din Umar bin Muhammad didoakan semoga bisa terhindar dari godaan perempuan yang cantik dan ayu parasnya. Sehingga membuat pikiran mabuk melayang apabila melihat kedua pipinya dan pandangan matanya. Beliau – Najmu ad-Din Umar bin Muhammad – menasehati, bahwa mencari ilmu – saat dalam proses menimba ilmu – itu lebih utama daripada harus terbuai dan terjerat oleh godaan perempuan.

Syair diatas jika dipahami secara tekstual, seakan-akan yang menjadi sumber godaan adalah seorang perempuan yang cantik dan manis. Karena melihat khitob dalam redaksi teks tersebut adalah seorang perempuan. Lantas bagaimana jika yang menjadi pelajar adalah pelajar perempuan dan yang menjadi sumber godaan dalam belajar adalah seorang laki-laki yang tampan dan rupawan? Apakah teks tersebut masih berlaku dan akan tetap menyalahkan pihak perempuan? Tentu saja pemikiran seperti ini akan menjadi kontroversi tersendiri dikhalayak kaum perempuan.

Jika kita telaah dari segi semantik secara mendalam mengenai sya’ir yang diungkapkan oleh Syaikh al-Imam al-Ajal Najmu ad-Din Umar bin Muhammad Nasfi, tentu akan menghasilkan makna dualisme. Karena susunan kalimat yang dibangun adalah kalimat yang menunjukkan jamak dhahir majazi – على من تيمتني – meskipun secara histori teks, khitobnya merujuk kepada seorang perempuan (Abu al-Wafa’ Ali bin Aqil bin Muhammad al-Baghdadi, Syarah Ibnu Aqil 2/ 94 – 95, Akan tetapi secara kontekstual penulis memahami, makna jamak dhahir majazi pada kalimat ini – على من تيمتني… لأن من عبارة عن الجارية المستولدة – tidak bisa dipukul rata bahwa sumber godaan adalah dari perempuan. Bisa saja makna majazi dari sumber godaan yang ingin Syaikh Najmu ad-Din sampaikan adalah bisa bersumber dari laki-laki dan juga bisa bersumber dari perempuan. Dengan begitu, secara sudut pandang semantik teks syair diatas mempunyai makna majazi yang mempunyai fungsi untuk memerangi konsep stereotip gender ‘bahwa wanita adalah sumber godaan’.

Mengenal Kasih pada Masa Belajar dalam Pandangan Feminisme

Sebelum lanjut kepada pembahasan Kasih sayang dalam pandangan feminisme, kita perlu mengetahui definisi tentang kasih sayang. Sebenarnya apa itu yang dimaksud dengan kasih sayang? Apakah semacam jalinan kasih atau semacam ikatan hubungan antara kedua insan atau malah ikatan sesama jenis? Kasih sayang adalah bentuk respon empati dari sebuah perasaan yang sangat dicintai oleh Allah SWT.

Alasan ini penulis sampaikan, karena kasih sayang mampu membangkitkan semangat manusia untuk saling bahu membahu meringankan bahkan menyelesaikan beban sesama manusia. Kasih sayang yang termasuk akhlak mulia tentu disukai oleh Allah dan merupakan bentuk ibadah kita kepada Allah jika diniatkan dan ditunjukkan dengan cara yang benar. Dalam hadis riwayat Na’im melalui Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha, disebutkan “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pemurah, Dia mencintai sifat pemurah, dan Dia mencintai akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah”.

Maka dari itu, untuk mewujudkan kasih sayang dalam Islam, manusia diajarkan untuk melakukan perbuatan yang nyata. Kasih sayang kepada manusia lain bisa berbentuk perbuatan tolong menolong, menjaga silaturahmi, meringankan beban dan kesulitan orang lain, mengajak orang lain ke jalan Allah, menjaga kedamaian dan lain sebagainya.

Setelah memahami sekilas definisi kasih sayang, kita diajak untuk memahami arti kasih sayang dari sudut pandang feminisme. Pada sudut pandang feminisme, kita diajak untuk berfikir netral. Bahwa wujud kasih sayang merupakan bentuk buah respon kasih sayang dari Tuhan kepada kita atau respon cinta yang kita hadiahkan untuk sesama.

Pada saat masa-masa belajar, hampir semua orang menerima dan bahkan memberikan kasih sayangnya kepada orang yang dicinta. Baik respon yang tumbuh akibat rasa suka, kagum, ataupun rasa mengidolakan. Terkadang respon yang didapat akan berujung pada kebersamaan, kadang pula kasih yang tak tersambut akan berujung pada kegalauan. Apakah pemandangan semacam ini merupakan pemandangan yang adil? Apakah cinta yang kita tanam, akan selamanya kita yang menuai? Atau mungkin orang lain akan berlabuh kepada pujaan kita, namun kita sendiri tenggelam bersama kenangan yang telah tercipta, dan yang teragis adalah ditinggalkan atau meninggalkan yang terkasih ‘bahasa trendnya ditinggal pas sayang-sayange’.

Okey, that is choise. Kita kembali ke topik awal, sebenarnya bagaimana ‘feminisme melihat kasih yang tercipta diantara muda-mudi saat masa belajar’? tentu jawabannya adalah “feminisme ada karena untuk meng-counter atau memerangi gerakan stereotip gender, agar antara laki-laki dan perempuan mempunyai status emansipasi yang sama, baik dari segi pendidikan maupun dari segi profesionalitas”. Dari sini kita melihat ruang yang netral, bahwa ideologi feminisme melegalkan menyampaikan kasih kepada orang yang terkasih dibawah status Hak Asasi Manusia. Tidak ada aturan bahwa yang boleh menerima kasih adalah seorang laki-laki atau yang boleh menyampaikan perasaan adalah laki-laki.

Di dalam feminisme, semuanya diberikan ruang yang sama untuk mengekspresikan wujud kasih dan sayangnya kepada orang-orang terkasih, jadi para perempuan juga diberikan wewenang yang sama untuk menerima kasih atau menyampaikan perasaan. Selama ekspresi yang disampaikan tidak menyalahi aturan ideologi feminisme dan menyalahi hak asasi manusia, penulis kira semuanya sah-sah saja. Karena antara menyampaikan rasa kasih ataupun memendam rasa kasih, semuanya adalah keputusan and decisions are part of choice. So, accept it graciously.

Penulis: Fikri Hailal, Mahasiswa Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *