Tradisi filsafat sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sebagai cara untuk berdakwah.
Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja, Fahruddin Faiz, mengatakan tradisi filsafat sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dahulu, ada sahabat bernama Muadh bin Jabal. Saat berdakwah, dia merujuk pada di Al-Quran dan hadis semisal ada penjelasannya.
“Tapi kalau di Al-Qur’an dan hadis enggak ada, ya pakai akal. Itu perintah untuk berfilsafat dalam agama,” kata Fahruddin, dikutip dari laman UIN Sunan Kalijaga.
Termasuk Nabi Muhammad SAW juga memiliki karakter fathanah, atau orang yang sangat cerdas, mampu berpikir sangat dalam. Karakter tersebut merupakan ciri seorang filsuf, yaitu mampu berpikir mendalam.
Dalam sejarah Islam, banyak orang-orang yang dikategorikan sebagai filsuf yang jadi kunci perkembangan dunia ilmiah Islam. Sehingga ada yang bilang, begitu umat Islam meninggalkan filsafat, posisinya yang unggul di dunia ilmiah internasional lalu merosot sampai hari ini.
Padahal di abad ketujuh Islam merupakan pusatnya peradaban, pusatnya keilmuan. “Dulu juga Yunani jaya dengan ilmu pengetahuan dan filsafatnya, maka mereka disebut pusat peradaban. Itu kuncinya justru bukan di politik, tapi di penguasaan sains,” katanya.
Sebagian orang menggembar-gemborkan kejayaan Islam masa lalu, tapi anti terhadap asing dan segala hal berbau Barat. Mereka menyebut Islam sudah menjawab segalanya, sehingga tidak perlu mempelajari yang lain.
Menurut Fahruddin, itu premisnya benar, namun konklusinya yang salah. Bahwa dahulu Islam pusat peradaban itu benar. Namun harusnya sekarang gairah intelektual seperti dulu bisa dihidupkan lagi, bukan sentimen Islamnya.
“Bahwa kalau kita jaya di bidang sains, otomatis ya Islam ikut terangkat,” kata Fahruddin. “Dulu Islam pernah jaya, sekarang Barat yang berjaya itu disebut hanya ambil dari dunia Islam, lalu titik di situ. Cuma selesai bahwa kita bangga dulu Islam pernah jaya.”
Harusnya kesimpulan muslim bahwa kita harus mengembalikan kejayaan itu. Kalau anggap Barat dulu mengambil sains dunia Islam, maka sekarang kita ambil juga. Harusnya begitu. Namun sayangnya banyak orang yang berhenti di titik membanggakan masa lalu. Harusnya muslim menghidupkan lagi, mereformasi lagi dunia ilmiah.
“Tapi coba lihat sekarang, sekeliling kita sibuknya kan politik. Sibuk banyak-banyakan massa, kuat-kuatan pengaruh. Jadi tidak sibuk di dunia ilmiah. Itu problem dan PR besar kita,” katanya.
–
Penulis: Antariksa Bumiswara