Oleh: Nur Kholik Ridwan, Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.
Hari itu Kang Santri meninggalkan rumah, dengan niat silaturahmi kepada keluarga di kampungnya. Kepergian Kang Santri ke tempat kelahirannya, yang memakan waktu setengah hari untuk bisa sampai dengan memakai bis umum, diniatinya silaturahmi. Perjalanan ini dilakukan karena Kang Santri ingat pesan gurunya ketika ngaji di masjid: “Barangsiapa yang ingin ditambah rezkinya sambunglah silaturahmi; dan barangsiapa ingin dipanjangkan umurnya sambunglah silaturahmi.” Kang Santri tidak mengorek-ngorek kalimat itu hadits apa tidak. Hanya yang ia tahu, kalimat itu diucapkan gurunya ketika ngaji di masjid. Dan itu sudah cukup membuatnya yaqin.
Sepulang dari silaturahmi itu, dan sampai di rumah, Kang Santri didatangi oleh seorang tetangga. “Kang menthok sampean hilang; dari 3 menthok itu nggak ada satu; sudah tiga hari ini sejak sampean pergi?” Tetangga ini belum tahu ihwal kemana gerangan menthok yang dipelihara Kang Santri. Menthok itu dijadikan wasilah oleh Alloh selalu mengeluarkan telur dan beranak pinak, dan ternyata kali ini raib.
Kang Santri hanya tersenyum. Di batinnya: “Kemana kira-kira ya?” Terlintas di pikirannya: “Siapa yang mencuri ya?” Akan tetapi segera lintasan fikiran ini dihilangkan Kang Santri: “Seorang santri tidak pada tempatnya menuduh orang lain, apalagi sesama saudara muslim, apalagi tetangganya.” Kang Santri ingat pengajian gurunya: “Inna ba’dhozh zhonni itsmun”. Akhirnya Kang Santri manekungkan hatinya, dan beistighfar: “Allohumaghfir li waliwalidayya walmuslimin walmuslimat.” Menthoknya pun tak lagi difikirkan dan deserahkan urusannya kepada Alloh.
Tetangga yang lain besoknya datang kepada Kang Santri. “Kang, menthok sampean terjebak di Kalen, di bawang gorong-gorong. Kemarin mau ditangkap anak-anak, tetapi tidak ada yang bisa. Bahkan ada yang akan saya beri uang kalau bisa mengambil menthok yang terjebak itu. Dan akan saya lepaskan lagi, karena saya tahu itu milik Kang Santri.” Segera Kang Santri mengikuti tetangga itu, dan ditunjukkan ke gorong-gorong Kalen dimana menthok itu terjebak.
Waktu sudah hampir manghrib. Kira-kira jam setengah 5 sore. Diamatinya gorong-gorong Kalen. Memang sedikit terdengar sayup-sayup suara menthok itu bersuara, yang meyakinkan Kang Santri kalau menthok itu memang ada di situ. Berarti sudah 3 hari, menthok itu tidak makan dan hanya ada di pinggir gorong-gorong. “Tapi bagaimana cara mengambilnya?” Gorong-gorong Kalen ini kedalamannya sekitar 2, 5 meter dengan lebar hanya setengah meter, dengan air yang penuh dengan limbah. Sementara di atas Kalen itu didirikan rumah dengan dicor. Kalennya itupun gelap, dan hanya ada tempat sedikit, sela-sela yang diberi ruang tidak dicor, di pucuk yang berjejeran dengan sasak atau jembatan Kalen.
Kang Santri mencoba mengambil ondo, dan mencoba turun ke dasar Kalen. Dilihatnya menthok itu, tetapi menthok itu ada di tengah-tengah Kalen di bawah cor-coran rumah, yang didirikan di atasnya. Ketika Kang Santri mengambil kayu agar menthok itu pindah, ternyata menthok itu malah bergerak menjauh dan semakin sulit diambil. Ketika Kang santri kemudian naik lagi dari dasar Kalen dan pindah ke bagian pucuk Kalen yang tidak ada cornya, dengan harapan, menthok itu akan keli, ternyata menthok itu kembali lagi di tengah-tengah. gorong-gorong di bawah cor yang di atasnya ada rumah itu.
Karena waktu sudah hampir maghrib, usaha itu tidak berhasil dan Kang Santri kembali ke rumah. Kang Santri berbicara kepada sebagian orang yang melihat usahanya itu: “Siapa yang mau mengambil menthok itu silahkan, engko belehen dan peken.” Akan tetapi sampai besok harinya, ternyata tidak ada yang mengambil menthok itu. Kang Santri akhirnya, berkesimpulan ternyata sebagian orang yang melihatnya itu tidak membutuhkan menthok. “Saya kira mereka yang sekadar melihat itu mau dengan menthok itu, dan tertarik untuk menyembelihnya. Ternyata tidak.” Kang Santri pun hanya meringis.
Kang Santri, semalaman akhirnya berfikir tentang menthok itu. “Kalau sudah tiga hari tentu menthok itu sangat kelaparan.” Tetapi satu-satunya jalan, hanya masuk ke dalam gorong-gorong dan menyusuri sampai ke pucuk gorong-gorong yang di atasnya ada cor-coroan rumah itu. Sementara dia terbayang airnya dan limbah-limbah yang sangat kotor, limbah-limbah masakan dan cucian masuk ke situ. Belum lagi banyak beling-belingnya di dasar Kalen. Kalau melihat ini, Kang Santri hanya termenung, dan dia sendiri tidak pernah melakukan kegiatan seperti itu, kecuali hal-hal yang kaitannya dengan barang-barang bersih, dan halus. Sementara tetangga-tetangganya tak ada yang tertarik dengan menthok itu, sehingga tidak ada yang mau mengambil pula.
Kang Santri, akhirnya merenung dan ingat pesan gurunya ketika ngaji: “Ta`awun itu bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada hewan-hewan yang memerlukan.” Sang guru juga pernah membekalinya ilmu bahwa memberi makan kepada hati yang basah (di antaranya hewan) termasuk sedekah. Jadi ada dua lapangan amal dalam fikir Kang Santri: satu amal ta`awun dan kedua amal sedekah. Kang santri sendiri mengerti bahwa menthok itu hanya ndepipis, sudah 3 hari, dan sekarang sudah 4 hari, sangat memerlukan bantuan. Sementara dalam waktu 4 hari itu, tentu menthok itu sangat lapar, yang memerlukan makan. “Memberi makan hewan adalah sedekah,” fikir Kang Santri.
Besoknya, di pagi hari, Kang Santri akhirnya cancut taliwondo, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Akhirnya Kang Santri turun ke gorong-gorong Kalen itu, sampai ke pucuknya, yang di atasnya ada cor-coran rumah seseorang. disusuri di tengah gelap dan banyak limbah itu. Menthok itu akhirnya bergerak dan melaju dengan sayapnya ke arah tempat yang di atasnya tidak ada cor-corannya, sampai menemukan jalan untuk naik ke tanah dalam rentang beberapa ratus meter. Akhirnya Kang Santri pun bersyukur kepada Alloh dengan memperbanyak hamdalah, karena menthok itupun akhirnya bisa selamat dari jebakan yang mengurungnya sudah 4 hari.
Kang Santri, mengingatkan kita, betapa etos santri itu “mau taawun”, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada hewan; juga bukan hanya kepada hewan, tetapi juga kepada manusia-manusia. Karena tidak ada manusia yang benar-benar bisa aman dan selamat dengan kerja dan tangannya sendiri. Orang selalu membutuhkan orang lain dan persaudaraan. Kebiasaan mencaci maki dan menyebarkan adu domba, adalah memperbanyak musuh; bukan mempererat persaudaraan, dan karenanya menjauh dari rahmat Alloh. Taawun, tolong menolong adalah mempererat persaudaraan, dan mendekat dengan rahmat Alloh. Juga bagi hewan, kadang terjebak dalam jebakan atau jeratan yang membutuhkan orang untuk membantunya.
Dari sudut tahapan penghayatan beragama, Alloh sering menguji seseorang, tentang kematangannya dalam beragama dan berdekat-dekat dengan-Nya, tidak hanya melalui penggunaan pakian-pakian bersih dan tangan berkalungkan tasbih memuji-Nya di masjid-masjid; atau di atas sajadah kain yang bercorak-corak. Banyak orang sanggup menjalankan ini.
Alloh kadang menguji seseorang dengan ditambah melalui jalan amal dalam becek-becek, jalan berlimbah, dan bahkan dengan sesuatu yang dianggap remeh dalam pandangan masyarakat, seperti dalam ta`awun dengan sosok menthok di atas. Wallohu a’lam.