Empat Pangkal Kebaikan dalam Kitab Nashaihul Ibad

Empat Pangkal Kebaikan dalam Kitab Nashaihul Ibad

Empat Pangkal Kebaikan dalam Kitab Nashaihul Ibad

Oleh : M. Rikza Chamami, MSI, Dosen UIN Walisongo

Bacaan Lainnya

Semalam saya ngaji Kitab Akhlaq Lil Banin dengan para santri Kafalatul Yatama. Seperti biasa, sebelumnya saya muthala’ah dulu dan menambah pengetahuan dari Kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Muhammad Nawawi.

Kebetulan tema ngaji tentang kisah seorang anak bernama Shalih (orang Jawa menyebut Sholeh) yang taat pada Ibunya. Ibunya yang sakit dirawat dengan baik dibelikan obat, makanan dan buah-buahan hingga sembuh.

Kebetulan halaman demi halaman Kitab Nashaihul Ibad kubuka dan menemukan satu kata yang mirip dengan topik bahasan Kitab Akhlaq Lil Banin, yaitu al-ummahat (emak-emak: bahasa jaman now).

Nampaknya ini perlu jadi renungan bersama di suasana seperti ini. Kian hari tambah gaduh gegara jelang Pemilu. Wajar dan biasa untuk hembusan angin demokrasi. Tapi jadi tidak wajar jika hasutan itu membuat kepala panas, hati beku dan sikap emosi.

Apa isi dari nasehat Rasulullah Saw yang dijelaskan dalam Kitab Nashaihul Ibad itu?

الامهات اربع ام الادوية وام الاداب وام العبادات وام الاماني فام الادوية قلة الاكل وام الاداب قلة الكلام وام العبادات قلة الذنوب وام الاماني الصبر

Empat Pangkal Kebaikan “Pangkal segala sesuatu ada empat: pangkal obat, pangkal adab (akhlak), pangkal pengabdian (ibadah) dan pangkal cita-cita. Adapun pangkal obat adalah mengurangi makan. Pangkal adab adalah berbicara wajar dan pantas. Pangkal ibadah adalah menjauhkan diri dari dosa. Dan pangkal cita-cita adalah bersabar.”

Empat hal itu nampaknya tepat untuk kita renungkan bersama di hari ini. Semoga bermanfaat.

Baca pula artikel terkait

Oleh Kiai Kuswaidi Syafi’ie, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Sewon Bantul

امرتك الخير لكن ماائتمرت به
وما استقمت فما قولي لك استقم

Aku menyuruhmu mengerjakan kebaikan. Tapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Aku juga tidak istiqamah. Lalu apa gunanya kata-kataku kepadamu, “Istiqamahlah engkau!”

Betapa sangat jelas bahwa adanya perintah itu merupakan satu hal, sementara melaksanakannya merupakan hal yang lain. Tidak secara otomatis keduanya pasti berkelindan. Bahkan sering kali keduanya dipisahkan oleh jarak yang begitu panjang membentang.

Secara ideal, memerintahkan kebaikan semestinya memang diawali dengan melaksanakannya sendiri terlebih dahulu sebagaimana telah diteladankan oleh junjungan dan panutan umat manusia, Nabi Muhammad Saw. Beliau mengamalkan wudhu terlebih dahulu, baru kemudian memerintahkan umatnya untuk berwudhu. Demikian juga dengan shalat dan berbagai kebaikan yang lain.

Hal yang lebih berat dari “sekedar” mengerjakan kebaikan itu adalah mengamalkannya dengan istiqamah. Selama siapa pun belum betul-betul merasakan lezatnya suatu kebaikan, dia pasti akan merasakan bahwa betapa sangat beratnya istiqamah itu. Itulah sebabnya kenapa panutan dan junjungan umat manusia, Nabi Muhammad Saw, memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dengan sabdanya: “Salah satu ayat dalam surat Hud telah membuatku beruban.”

Salah satu orang shalih dari kalangan umatnya pernah berjumpa dengan beliau dalam mimpinya dan bertanya kepada beliau tentang ayat yang dimaksud dalam hadis itu. Dengan gamblang beliau menyebutkan bahwa ayat dalam surat Hud itu tidak lain adalah “Istiqamahlah engkau sebagaimana yang telah diperintahkan.”

Sungguh, betapa sangat tidak mudah istiqamah itu. Akan tetapi kita juga tidak memiliki pilihan lain kecuali terus berikhtiar untuk selalu teguh memperjuangkan istiqamah itu, baik dalam keadaan sukacita maupun duka.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *