Akhlak yang mulia dibangun dari empat Elemen:
Pertama, قوة العلم daya pengetahuan (isim-benda) atau daya mengetahui sesuatu (fiil-kata kerja). Daya yang mampu membedakan benar dan bohong dalam ucapan (aqwal), Haq dan bathil dalam keyakinan (i’tiqad), dan indah dan jelek dalam perbuatan (af’al). Daya ini melahirkan hikmah (kearifan-kebijaksanaan) yang menjadi pondasi akhlak yang baik.
Daya pengetahuan atau mengetahui ini lahir dari proses yang panjang, bertahap, dan berliku. Ilmu yang matang lahir seperti aliran air yang mengalir secara gemericik, bukan seperti banjir bandang yang datang dalam gulungan air. Ulama zaman dulu karena langkanya kitab, mereka membaca, memahami, dan mematangkan satu kitab secara perlahan dan mendalaminya dari satu kata, kalimat, dan bab untuk menemukan mutiara ilmu yang tak bertepi.
Bahkan KH Abdullah Rifai punya prinsip:
من تبحر في فن واحد تبحر في ساءر الفنون
Siapa yang mendalami satu cabang ilmu, ia akan mendalami semua cabang ilmu.
Kedua, قوة الغضب daya marah yang menjadi energi meraih cita-cita tinggi. Marah seperti bensin dalam sepeda motor atau mobil. Jika marah ada dalam bimbingan hikmah, maka daya emosi ini akan menjadi kekuatan pengubah positif yang mampu membangun peradaban.
Ketiga, قوة الشهوة daya syahwat (kesenangan) yang mendorong manusia mengkonsumsi sesuatu, seperti makan, minum, dan seks. Daya syahwat ini jika dalam bimbingan hikmah dan dalam kendali akal dan Syara’, maka menjadi energi positif untuk meraih cita-cita tinggi.
Keempat, قوة العدل daya keseimbangan, yaitu mengikat atau mengendalikan syahwat dan marah dalam bimbingan akal dan Syara’.
Tasawuf Transformatif
Empat elemen pembentuk akhlak ini akan menjadikan tasawuf sebagai kekuatan transformasi yang hebat dalam kehidupan umat dan bangsa. Nabi Muhammad sebagaimana dikutip Moh Iqbal adalah sosok pengubah peradaban. Nabi tidak mau egois dengan menetap di surga ketika Mi’raj, tapi Nabi memilih kembali ke dunia dengan problematika peliknya untuk mengubah sejarah manusia menuju era keadilan dan kebenaran, jauh dari era jahiliyyah.
Buah ilmu adalah amal yang bermanfaat untuk diri dan masyarakat. Orang bertasawuf tapi egois berarti belum menghayati makna tasawuf yang sebenarnya. Tasawuf harus termanifestasi dalam akhlak sosial yang menekankan kedermawanan, kerendahhatian, kesantunan, dan kejujuran.
Kopdar Ihya’ Mas Ulil Abshar Abdalla
PP Mansajul Ulum Cebolek Margoyoso Pati,
Ahad malam Senin, 19 Agustus 2018
(Penulis: Jamal Ma’mur Asmani, IPMAFA Pati)