Eksistensi Perempuan: Menjawab Stigma Buruk Masyarakat
Oleh : Nila Erdiani,
Menjadi perempuan di negara yang masih menggunakan nilai-nilai patriarki seperti di Indonesia adalah suatu hal yang sulit, ketika perempuan memilih pilihan hidupnya sendiri dan berkeinginan berkembang menjadi seperti selayaknya, masyarakat sekitar akan memberikan respon yang kurang baik. Banyaknya omongan yang dituju untuk perempuan, membuat serba salah ketika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Mari kita bahas beberapa permasalahan yang didapatkan perempuan.
Ketika perempuan memilih untuk bersekolah tinggi rata-rata masyarakat dengan mudahnya mengatakan “ngapain sekolah tinggi-tinggi, jadi perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya akan ada di rumah juga jadi pengangguran, hanya mengurus anak dan hidupnya dibiayai suami. Atau kalimat seperti ini “perempuan kalau sekolah tinggi-tinggi susah cari jodoh, Ijazah SMA saja cukup!” Kalimat tersebut bukan hanya datang dari masyarakat, orang tua bahkan keluarga lainnya terkadang dengan gampangnya mengeluarkan kalimat tersebut.
Pada dasarnya, sekolah tinggi tentu saja bukan formalitas belaka untuk mendapatkan ijazah. Pendidikan tinggi sejatinya adalah tempat bagi seseorang untuk menambah ilmu dan wawasan, di pendidikan tinggi kita melatih diri menjadi pribadi lebih tangguh dan mandiri sekaligus dapat memperluas pengalaman. Kelak, ketika tamat, ilmu yang didapatkan di pendidikan tinggi inilah yang membuat para perempuan menjadi lebih mudah mengerti dan beradaptasi dengan lingkungan, menjadi lebih bijak dalam menyikapi perubahan.
Sungguh memprihatinkan jika wanita menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya namun jenjang pendidikan yang ditempuhnya tidak mendukung usahanya tersebut, apalagi di zaman teknologi seperti sekarang ini perempuan akan menjadi pendamping dan teman untuk anak-anaknya. Setiap orang tua yang sudah memiliki anak usia sekolah pasti tahu bahwa pelajaran anak-anak sekarang jauh berkembang dibanding saat kita bersekolah dulu. Karena itu sering kali para orang tua khususnya ibu gelagapan ketika mendampingi anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Tidaklah mungkin kita akan membersamai mereka di masa depan. Waktu terus berjalan dan zaman pun turut berganti, perubahan demi perubahan terus hadir tanpa dapat kita bendung. Kita tidak bisa mendidik anak-anak kita seperti yang terjadi pada zaman yang kita lalui kini, kita harus mendidik anak-anak kita untuk menghadapi zaman yang akan mereka temui.
Di Indonesia khususnya di beberapa daerah apabila ada perempuan yang belum menikah di umur 30 tahun mereka akan mendapatkan kritik dari masyarakat sekitar, seperti dikatakan terlalu pemilih, dikatakan sebagai perempuan yang sok jual mahal, sok cantik, sok pintar, sok alim. Kalimat tersebut didapatkan perempuan ketika ada yang ingin melakukan pendekatan tetapi perempuan menolak. Hal tersebut menjadi bukti bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya padahal sebagai sebagai perempuan, kita pun ingin mendapatkan laki-laki terbaik yang akan menjadi pembimbingnya untuk menjadi lebih baik.
Kritik lain yang didapatkan adalah dikatakan terlalu sibuk dengan karir dan mencari jabatan tinggi di pekerjaan sehingga membuat laki-laki segan untuk melakukan pendekatan. Tentu perlakuan ini berbeda kalau dialami seorang pria yang belum juga menikah meski usianya sudah di atas 35 tahun. Kehidupan mereka bebas tanpa ada julukan yang menempel, kebanyakan masyarakat berkomentar seperti ini “Cowok masih wajar di usia segitu belum menikah” .
Perempuan Karir dan Hantu Pelecehan Seksual
Klaim tersebut seolah menyamaratakan bahwa semua perempuan yang memilih untuk berkarir bukan ibu yang baik, karena lebih sering berada diluar rumah. Mengapa seolah-olah perempuan tidak bisa mendapat gelar ibu yang hebat dan istri yang hebat secara bersamaan jika memilih berkarir, mengapa perempuan harus memilih salah satu dari dua posisi tersebut, jika dia bisa mengerjakan keduanya dengan baik, padahal perempuan berhak mendapat gelar keduanya. Oleh sebab itu menyadarkan saya, bahwa perempuan berhak memilih dua hal tersebut secara bersamaan walaupun dengan banyak tantangan.
Perempuan sering kali mengalami pelecehan seksual. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi berdasar pada diskriminasi berbasis gender dari budaya patriarki yang melemahkan posisi perempuan sebagai subordinat dan objek seksual (objektifikasi perempuan). Adanya diskriminasi gender ini dapat dilihat dari banyaknya perkataan di masyarakat sekitar maupun di dunia maya yang seolah menyalahkan peran perempuan ketika pelecehan terjadi sehingga latar belakang, perilaku, dandanan, gaya busana serta lingkungan pergaulan perempuan seringkali ditelusuri untuk membenarkan tindakan pelecehan seksual, yang kemudian digunakan mencaci korban dengan ungkapan “salah sendiri”.
Perempuan itu apa yang dikonstruksikan masyarakat
Dikatakan perempuan jika melakukan hal-hal dalam ranah domestik seperti mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam artikel yang saya baca dia mengutip pemikiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20, dikatakan bahwa apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi”, dikonstruksi secara sosial. “Gender is not something we are born with, and not something we have, but something we do”.
Contoh lain yang diberikan ketika ada seorang bayi perempuan lahir, maka ia akan dibungkus pakaian berwarna merah muda dan diberi boneka hingga ia dewasa menjadi seorang yang tidak sesuai apa yang dikonstruksikan misalnya menjadi seorang pilot dapat saja ditertawakan karena tidak sesuai dengan diri perempuannya. Pemikiran yang memandang ketidaknormalan hal tersebut sungguh tidak relevan bila dihubungkan dengan gender maka peran gender sangat penting ketika aktivis perempuan dengan lantang menyuarakan perlunya kesetaraan bagi perempuan. Perempuan dapat juga layak bergerak dalam bidang politik, hukum, budaya, dan sosial.
Hal-hal yang selama ini berbau perempuan seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan” padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas dominasi-dominasi kekuatan dan kekuasaan maskulin. Karena urusan mendidik anak anak, merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. Jenis pekerjaan tersebut bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal. Bahkan dalam perkembangan zaman di beberapa negara terdapat houseman dimana seorang ayah berperan juga dalam merawat anak dan rumah tangga untuk keseimbangan peran antara ayah dan ibu sehingga ibu tidak terus menerus bergulat dalam domestic area.
Kesimpulan yang didapatkan dari penulisan artikel ini adalah kesetaraan gender terhadap perempuan di Indonesia masih tergolong rendah. Dengan adanya kesenjangan kedudukan perempuan dan laki-laki menjadi salah satu penentang kedudukan nilai keadilan sosial dimana seharusnya semua masyarakat Indonesia berhak dan wajib untuk memperoleh Hak diperlakukan secara adil tanpa adanya pandangan akan jenis kelamin dan apa yang dikonstruksikan masyarakat yang membuat ketimpangan gender.
Dengan terciptanya sikap kesenjangan gender sangat memberikan dampak buruk terhadap kaum individu, bahkan juga berdampak buruk terhadap negara. Saya tutup tulisan ini, pesan saya untuk para perempuan di luar sana, perempuan bukan objek, perempuan bebas melakukan apa yang dia mau, perempuan berhak bersuara, berhak dengan keadilan, berhak mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki untuk berpendapat, berkarya dan berkarir. Stop menuntut dan menyalahkan perempuan apabila yang dilakukan berbeda dengan apa yang dikonstruksikan masyarakat sekitar.
Penulis: Nila Erdiani, ([email protected]) Mahasiswa Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga