Dokter Fahmi Ingin Gus Dur Menjadi “Orang Pada Umumnya”

Kesepakatan Rahasia Itu Akhirnya Sukses Menjerat Gus Dur (3-Habis)

Malam ini (Jumat, 21/12/2018) akan diselenggarakan Haul Gus Dur di Ciganjur. Untuk menyambut haul guru bangsa ini, saya ingin berbagi kisah tentang Gus Dur yang pernah beberapa kali dituturkan oleh Gus Mus. Kisah ini terjadi pada tahun 80an. Tentu saja masih era Orba.

Suatu hari, Dokter Fahmi, kakak kandung dari Menag Lukman Saifuddin, menghubungi Gus Mus untuk meminta pendapat perihal yang yang sangat penting berkenaan dengan Gus Dur.

“Gus, bagaimana kalau Gus Dur kita calonkan sebagai anggota MPR?” tanya Dokter Fahmi kepada Gus Mus. Saat itu, anggota MPR terdiri dari berbagai unsur, salah satunya unsur tokoh agama. Dokter Fahmi ingin mengusulkan agar Gus Dur (saat itu, GD menjabat sebagai Ketum PBNU) masuk sebagai anggota MPR, mewakili unsur tokoh agama.

Spontan Gus Mus menentang usulan Dokter Fahmi. “Saya ndak setuju,” kata Gus Mus. “Apa Gus Dur bisa berbuat banyak di dalam lembaga MPR? Boro-boro mempengaruhi orang lain di MPR, justru saya khawatir Gus Dur malah dipengaruhi yang lain,” lanjut Gus Mus.

Mendengar “hujjah” Gus Mus ini, Dokter Fahmi langsung menimpali.

“Lho, tujuan saya mencalonkan Gus Dur menjadi anggota MPR justru biar dia dipengaruhi orang lain kok, Gus,” kata Dokter Fahmi dengan penuh semangat.

Mendengar argumentasi Dokter Fahmi seperti ini, Gus Mus menjadi penasaran. “Maksudnya dipengaruhi itu bagaimana?” tanya Gus Mus, dengan nada yang agak jengkel.

“Sampeyan ndak lihat, Gus Dur selama ini selalu pakai baju batik sederhana dan sepatu sandal ke mana-mana. Sebagai Ketum PBNU, rasanya kok ndak pantes Gus Dur berpakaian seperti itu,” kata Dokter Fahmi, “menjlentrehkan” alasannya.

“Sampeyan ingat kan,” lanjut Dokter Fahmi, “waktu kita mendatangi seminar di gedung Sinar Kasih di Cililitan. Gus Dur datang, naik bus kota, memakai baju yang sudah agak lusuh. Saya kok ngga tega melihat dia begitu. Saya ingin melihat Gus Dur jadiĀ  ‘manusia normal’, menjadi seperti orang pada umumnya.”

Catatan selingan: Gedung Sinar Kasih adalah kantor di mana dewan redaksi koran Sinar Harapan yang pernah dibredel oleh Suharto dulu berada. Tentang diskusi di gedung Sinar Kasih ini, ada kisah menarik yang melibatkan Gus Dur, Gus Mus dan Syekh Mas’ud Kawunganten, Cilacap. Suatu saat akan saya kisahkan.

“Lalu,” sergah Gus Mus, “apa hubungannya antara jadi anggota MPR dan manusia normal?”

“Gini lho, Gus, kalau Gus Dur jadi anggota MPR, kan dia akan belajar pakai jas, sepatu, dan dasi. Ke mana-mana juga dia tak akan naik bis kota lagi. Itu maksud saya, Gus Dur dipengaruhi orang lain-lain.”

Gus Mus tertawa mendengar penjelasan Dokter Fahmi ini.

Gus Dur memang akhirnya benar menjadi anggota MPR dulu. Dan Gus Dur juga mulai memakai jas dan dasi saat mengikuti sidang MPR yang, dulu di zaman Suharto dulu, hanya berlangsung sekali dalam setahun itu.

Tetapi di luar acara resmi di gedung “blenduk” di Senayan itu, Gus Dur tetap memakai baju yang “casual”, tak resmi. Darah “seniman” memang terlalu deras mengalir di tubuh Gus Dur. Beliau kurang menyukai formalitas yang terlalu ketat, termasuk dalam hal berpakaian.

Puncak kesenimanan dan “informalitas” Gus Dur adalah saat beliau melambaikan tangan dari beranda istana, sambil mengenakan kaos T-Shirt dan celana pendek, sebelum beliau meninggalkan istana.

Penulis: Gus Ulil Abshar Abdalla

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *