Beberapa hari terakhir sedang heboh disertasi berjudul “KONSEP MILK AL-YAMIN MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI KEABSAHAN HUBUNGAN SEKSUAL NON MARITAL” yang ditulis oleh Abdul Aziz, dosen IAIN Surakarta yang mengambil s3 di UIN Jogja.
Awalnya saya mengira statemennya bahwa “hubungan badan di luar pernikahan tidak melanggar syari’at,” hanyalah deskripsi atas pemikiran Syahrur, bukan pemikiran Aziz sendiri.
Sampai di sini saya masih setengah menerima, karena memang pada era bahula bin jadul dulu, ada dua jalan dibolehkannya hubungan badan: yakni [1] lewat jalan perbudakan dan [2] jalan pernikahan.
Tetapi ternyata saya salah. Abdul Aziz, si penulis disertasi, ternyata menerima begitu saja ide Syahrur, tanpa memberikan kritik, bahkan menyeretnya lebih jauh ke konteks Indonesia. Padahal pemikiran Syahrur ini sudah banyak dikritik orang di Timur tengah, bahkan ditolak mentah-mentah.
Salah satu kesalahan fatal Syahrur adalah sikapnya yang tidak mau menerima konsep sinonim (تردف, atau synonymy). Baginya, tidak ada sinonim dalam al-Qur’an. Padahal ini jelas keliru.
Dari prinsip ketiadaan sinonim ini, Syahrur kemudian membedakan makna “milkul yamin” dengan “riqqah” (budak). Padahal, ratusan tahun sudah para ulama tafsir menjelaskan terma “ma malakat aymanuhum” dalam QS al-Mukminun: 6 (yang menjadi dasar argumen Abdul Aziz), bahwa kata tersebut maknanya adalah budak. Artinya, terma “milkul yamin” dan “riqqah,” keduanya adalah sinonim.
Artinya, hubungan badan dengan istri dan budak adalah dibolehkan berdasarkan QS al-Mukminun: 6 ini.
Untuk ukuran masa itu, ini hal yang wajar. Tradisi perbudakan sudah lama ada sebelum Islam, sehingga ketika al-Qur’an turun, maka perbudakanpun dibicarakan di sana, untuk kemudian diatur secara ketat. Dalam teori kebudayaan, sebuah budaya itu seperti organisme hidup. Ia bisa lahir, berkembang, lalu mati dan punah.
Kini, tradisi perbudakan sudah punah. Dengan punahnya perbudakan seiring perkembangan zaman ini, maka dari dua jalan yang membolehkan hubungan badan di atas, yang tersisa hanya jalur pernikahan. Jadi sekarang, tidak ada lagi jalan untuk melakukan hubungan badan kecuali melalui pernikahan secara sah .
Kembali ke sinonim. Sinonimi adalah fakta universal yang ada dalam semua bahasa di dunia. Para ahli bahasa sudah ijmak, sepakat dengan prinsip ini. Meski ada pergeseran makna antara satu terma dengan terma yang lain, namun bukan berarti antar kedua tidak sinonim. Memang ada beberapa pihak yang menolak sinonim, tetapi hanya sebagian kecil.
Mengingkari keberadaa sinonim dalam bahasa (atau biasa disebut Asynonymy) adalah kesalahan fatal. Bila prinsip ini dipegang, maka tentu tidak akan ada thesaurus. Orang yang tidak mengakui sinomim akan kesulitan dalam tes kemampuan verbal (semacam Tes Potensi Akademik), sebab di sana terdapat soal-soal yang mengukur kemampuan seseorang dalam memahami kata-kata yang sinonim maupun antonim.
Sewaktu menulis skripsi, saya mendapati kritik Yusuf al-Qardhawi terhadap Syahrur yang menolak sinonim ini. Sekedar informasi, skripsi saya membahas komparasi pemikiran Yusuf al-Qardawi dan Imam Nawawi. Kata al-Qardhawi, Syahrur ini tidak paham ilmu tafsir.
Kesalahan Syahrur ini ditelan begitu saja oleh si Abdul Aziz. Ia menganggap bahwa “milkul yamin” bukan budak, tetapi sekedar komitmen dengan syarat dan ketentuan tertentu di luar nikah. Lalu diseretlah kepada konteks Indonesia.
Jadi syahrur-nya sudah salah, oleh Abdul Aziz malah ditambahi kesalahan lagi. Singkatnya, ini kesalahan di atas kesalahan.
Polemik disertasi Abdul Aziz ini telah membikin capek keluarga besar UIN Jogja.
Dari mahasiswa, karyawan, hingga para dosen banjir pertanyaan dari publik yang masuk melalui HP. Banyak yang tidak tahu menahu, terkena getahnya. HP istri saya yang kerja sebagai tenaga laboran biologi di UIN jogja, juga diserbu pertanyaan ini. Bayangkan! Orang biologi disuruh menjawab pertanyaan tentang disertasi “milkul yamin.” ada-ada saja.
Dalam sebuah grup WA dosen UIN Jogja, Prof. Yudian Wahyudi Asmin, yang juga rektor UIN Jogja, menghimbau agar disertasi ini sebaiknya di-counter dengan penelitian ilmiah. Cukup skripsi anak s1 saja, atau paling tinggi tesis s2. Prinsipnya: ilmiah harus dibantah secara ilmiah pula.
Saya sudah berkomunikasi dengan guru saya, Syeikh Abdul Mustaqim, ketua prodi Ilmu al-Aqur’an dan Tafsir (IAT), UIN Jogja. Disertasi beliau juga meneliti pemikiran Syahrur, dan sudah diterbitkan menjadi buku berjudul “Epistemologi Tafsir Kontemporter.” Setidaknya dua hari terahir ini beliau membongkar-bongkar buku dan video-video ceramah Syahrur. Kata beliau, “Abdul Aziz ini salah dalam memahami pemikiran Syahrur.”
Saya dan beliau setuju: karya tulis ilmiah harus dibantah dengan karya ilmiah juga. Untuk itu, kami mengundang mahasiswa s1 prodi IAT maupun ILHA (Ilmu Hadis) untuk menulis skripsi untuk membantah disertasi Abdul Aziz ini. InsyaAllah akan dibantu.
Tabik.
Penulis: Dr. Ali Imron, MSI., Dosen Ushuluddin UIN jogja