Berita, BANGKITMEDIA.COM
YOGYA- Banjir informasi yang terus melaju saat ini sudah tak bisa dibendung lagi. Ini adalah keniscayaan. Hampir semua orang saat ini memiliki media sosial, apalagi anak muda milenial. Di sini, hoax terus diproduksi oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. Banyak korbannya. Makanya, lebih baik diam daripada ikut sibuk menyebarkan hoax.
Demikian ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Jauhari dalam acara Saring Sebelum Sharing, Literasi Digital Sebagai Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat, yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY di Cavinton Hotel, Yogyakarta (02/08).
“Diam itu lebih baik daripada kita ikut terjebak dalam hoax dan menimbulkan gejolak masyarakat. Jari-jari kita ini harus selaras dengan pikiran kita, sehingga mampu menyaring setiap informasi yang kita terima dan kita bagikan,” tegas Jauhari.
Jauhari juga menegaskan bahwa al-Quran sudah menegaskan setiap kita menerima informasi dari seorang yang fasiq, maka kita harus melakukan klarifikasi (tabayyun). Kalau kita tidak tabayyun, maka informasi kita bisa menghadirkan celaka bagi orang lain.
“Selamatnya manusia itu karena menjaga lisannya. Iki kata orang bijak dulu. Kalau sekarang, selamatnya manusia karena bijak dalam menjaga jarinya dan medsosnya,” lanjut Jauhari.
Dalam pemaparannya, Jauhari juga memberikan tips-tips khusus berperilaku sehat dan langkah positif dalam bermedsos saat ini.
“Pertama, kita semua harus hati-hati dan bijak dalam bermedia sosial. Kedua, jangan sampai terpancing dengan isu-isu terkini. Pastikan setiap informasi benar-benar valid, tidak asal mendapatkannya saja. Ketiga, jadikan medsos sebagai tabungan kreativitas positif. Banyak hal-hal positif dari medsos yang sangat berguna dalam menambah kreativitas kita dalam menulis,” tegas Jauhri.
“Keempat, medsos juga bisa kita jadikan latihan dalam jurnalistik. Ini luar biasa, sangat bagus untuk mereka yang sedang berlatih menulis, bisa dapat masukan positif dari netizen,” lanjutnya.
Jauhari juga menegaskan bahwa kebebasan pers pasca reformasi memang luar biasa, sangat berbeda ketika masa orde baru. Saat itu, kisahnya, mau menulis harus benar-benar berhitung, jangan sampai menyinggung penguasa.
“Saya pernah membuat tulisan tentang Mbak Tutut Suharto. Saya dimarahi sama atasan saat itu,” kisahnya.
Dalam menguatkan peran pers untuk demokrasi kita, Jauhari mengajak semua masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga pers kita. Jauhari juga menegaskan bahwa Dewan Pers sudah merekomendasikan dan merilis nama-nama pers, baik cetak maupun online, yang benar-benar sesuai dengan kode etik dan diakui Dewan Pers.
“Kode etik ini sangat penting untuk menjaga pers sebagai pilar demokrasi. Jangan sampai kita terjebak dalam berita yang justru istrinya hoax dan bahkan bisa meruntuhkan demokrasi Indonesia,” pesan Jauhari. (had/ud)