Derajat Luhur Ilmu dan Kerawanannya

Penyebab Orang Mudah Ngambek, Karena Kurang Ilmunya

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Hadis populer tentang mencari ilmu, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina….” itu adalah hadis dhaif. Tapi, bagaimanapun, pesan moralnya bisa kita terima karena mengandung keselarasan dengan hadis-hadis sahih lainnya yang setema, seperti hadis: “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah.” (HR. Ibnu Abdil Barr), “Siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalah Allah Swt hingga ia pulang.” (HR. Turmudzi), dan “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, wajib baginya memiliki ilmu. Dan siapa yang menghendaki keduanya, wajib baginya memiliki ilmu.” (HR. Turmudzi).

Di al-Qur’an sendiri, ayat tentang keutamaan berilmu juga banyak jumlahnya. Di antaranya:

Surat al-Mujadilah ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, jika dikatakan kepada kalian berlapanglah dalam majelis (ilmu) maka lapangkanlah, niscaya Allah Swt akan melapangkan kepada kalian dan jika dikatakan kepada kalian berdirilah maka berdirilah, niscaya Allah Swt akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan (diberikan) berilmu di antara kalian dengan banyak derajat.

Surat az-Zumar ayat 9: “Katakanlah: apakah sama antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya kaum ulul albab yang akan mendapatkan pelajaran.

Surat Hud ayat 24: “Perbandingan dua golongan itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Apakah keduanya sama? Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran?

Sebelum ke mana-mana, mari cermati pula surat al-Mulk ayat 22: “Apakah orang yang berjalan dengan wajah terjungkal di atas tanah sama dengan orang yang berjalan tegak lurus?

Juga hadis riwayat Bukhari Muslim ini: “Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selamanya selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yakni kitabuLlah dan sunnah Rasul.

Serta hadis yang disebutkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid pertama: “Sesungguhnya orang yang paling pedih azabnya di hari akhir kelak ialah orang berilmu yang tidak memberikannya manfaat kepada (menuju) Allah Swt dengan ilmunya.

Andaikan kini kita bisa membaca al-Qur’an, itu berkat ilmu yang kita pelajari dulu, seperti belajar dengan metode Iqra’ atau lainnya. Kemudian kita mendalami ilmu mengaji al-Qur’an itu dengan ilmu tajwid, lalu qiraaah, hingga tafsir-tafsirnya.

Seluruh bangunan keilmuan yang kita miliki kini mengilustrasikan proses pembelajaran yang tiada henti. Terus-menerus. Begitu seyogianya. Maka berwaspadalah jika kita telah merasa cukup ilmu, tak lagi mau belajar, apalagi merenung, bertadabbur, dan bertafakkur.

Begitupun umpama semenjak lima tahun lalu kita istiqamah mengamalkan amal-amal wajib dan sunnah, semestinya kita terus menanjakkan derajat pengetahuan, ilmu, kita semakin dalam dan tinggi. Hadirnya pertambahan pemahaman baru, baru, dan baru, misal perihal maqashidus syariat (tujuan-tujuan ditetapkanNya syariat Islam), niscaya akan menghantar kita kepada kemajuan pemaknaan terhadap amal-amal kita. Dan seterusnya.

Titik proses pemahaman makna batiniah peribadatan ini dapat diandaikan sebagai mula dari proses pengenalan diri –sebagaimana telah kita bahas.

Ada uraian menarik sekali dari Prof. Quraish Shihab di Al-Mishbah tentang tafsir “akal, berakal, berilmu” –yang banyak sekali disebutkan dalam al-Qur’an. Beliau menafsirkannya sebagai, pertama, “Pengetahuan, pemahaman, yang menghantar kepada pengikatan diri kepada hukum Allah Swt dan RasulNya Saw.” Jadi, tidak serta merta mereka yang ahli ilmu adalah bagian dari ya’qilun (orang yang berakal atau mempergunakan akalnya dengan baik). Ahli ilmu yang berakal atau mempergunakan akalnya dengan baik adalah mereka yang sekaligus menggunakan pengetahuan-pengetahuannya untuk semakin terikat tunduk dan patuh kepada Allah Swt dan RasulNya Saw.

Kedua, berilmu yang demikian, ya’qilun, akan menjadikannya hidup. Ilustrasi analogis yang beliau gunakan ialah ayat-ayat tentang matinya bumi dan kemudian menjadi hidup setelah diturunkan hujan oleh Allah Swt. Ketika bumi telah hidup, tumbuhlah darinya tumbuhan-tumbuhan dan tanaman-tanaman yang bagus pertumbuhannya; memberikan keteduhan dan buah-buahan yang nikmat.

Jadi, ilmu pada analogi tersebut bagaikan hujan yang menyirami pikiran dan hati yang kering dan mati, hingga memungkinkannya hidup. Semakin benar ia disirami, niscaya semakin suburlah ia. Begitu seyogianya.

Tetapi, faktanya, ada segolongan orang yang semakin bertambah ilmunya malah semakin jauh pikiran dan hatinya dari keterikatan kepada hukum Allah Swt dan Rasulnya Saw. Ia bertambah licik, licin, keji, tega, dan sejenisnya, hingga ilmu-ilmunya malah menimbulkan kerusakan dan kemadharatan yang makin hebat. Maka kerap kita dengar ungkapan: “Orang pintar yang jahat jauh lebih merusak daripada orang bodoh yang jahat.” Orang bodoh yang mencuri, paling banter korbannya adalah pemilik sendal, ayam, kambing, sapi, motor, dan sejenisnya. Orang pintar yang korupsi, korbannya adalah bangsa ini dengan dampak-dampak kerusakan yang tak terhitungkan lagi.

Dalam bahasa nasihat Mbah Maimoen Zubair, dikatakan: “Jadilah orang baik yang berilmu, itu paling mulia. Jika tidak bisa, lebih baik jadilah orang baik yang awam, jangan menjadi orang pintar tapi tidak baik.”

Dari babaran ini, kita kini memahami bahwa para ahli ilmu itu tidak dengan sendirinya diangkat derajatnya oleh Allah Swt, sebagaimana janjiNya dalam surat al-Mujadilah ayat 11 tadi. Kiranya tidak.

Ayat tersebut meletakkan ilmu setelah beriman. Artinya, mesti selalu ada Allah Swt dan RasulNya Saw di atas, di depan, pemahaman ilmu. Dalam penalaran dan kasus hidup apa pun. Tidak bisa tidak, begitulah syarat bagi ilmu yang menghantar pemiliknya bisa mendapat karuniaNya.

Dikarenakan pilar iman adalah nahkodanya, maka ilmu apa pun, seluas maupun sedalam dan setinggi apa pun ontologi dan epistemenya, ia mesti selalu “terikat” kepada hukum Allah Swt dan RasulNya Saw. Dalam nasihat Rasulullah Saw tadi: “bepergang teguh kepada dua wasiatnya, yakni al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw.”

Inilah derajat ulul albab. Surat Ali Imran ayat 7-9 menjelaskan ulul albab sebagai ahli ilmu yang selalu mendahulukan perkataan (dan keyakinan, tentu saja):

Pertama,  orang-orang yang rasikhun (malakah, sangat ahli, mbalungi) dalam ilmu berkata, kami beriman kepadanya (al-Qur’an) dan semuanya adalah benar dari sisi Tuhan kami. Tiada keraguan sedikit pun. Kemudian, mereka berhasil mendulang pelajaran-pelajaran darinya.

Kedua, mereka pun berkata (berdoa), wahai Tuhan kami, janganlah Kau ubah hati kami setelah Engkau karuniakan hidayah kepada kami dan limpahkanlah kepada kami rahmat-rahmatMu, sungguh hanya Engkau lah Sang Maha Pemberi Karunia.

Ketiga, mereka pun berkata dengan keyakinan lurus dan tegak di dalam hatinya: wahai Tuhan kami, sungguh Engkau akan mengumpulkan semua manusia untuk menerima pembalasan atas segala perbuatannya di hari akhir kelak yang tiada keraguan sedikit pun lagi. Sesungguhnya Engkau tak pernah mengingkari janji-janjiMu.

Begitulah penggambaran al-Qur’an tentang ulul albab: ahli iman dan ahli ilmu.

Gambaran ini dibedakan dengan signifikan dalam al-Qur’an dengan ahli ilmu yang hatinya mengidap penyakit, kurang beriman, atau tak menjadikan dirinya terikat kepada hukum Allah Swt dan RasulNya Saw, atau malah semata mengedepankan nalar-nalar rasionalnya sebagai kiblatnya dibanding al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw.

Dikatakan dalam surat Ali Imran ayat 7: orang-orang (ahli ilmu) yang di hatinya menyimpan penyakit (zaighun) cenderung untuk menakwil-nakwil al-Qur’an atau mengikuti takwil-takwil yang penuh kesamaran, keterjalan, kesumiran, dan marabahaya. Ini dimaksudkan bukan sebagai larangan menakwil al-Qur’an di saat takwil memang diperlukan untuk menghadirkan pemahaman yang lebih dalam dan jelas. Tidak. Ini memaksudkan orang yang berilmu yang justru menjadikan ilmunya untuk mengakal-akali al-Qur’an sedemikian rupa, demi menuruti hawa nafsunya, bukan untuk makin mengikatkan hatinya kepada Allah Swt dan RasulNya Saw.

Terdapat perbedaan ontologi dan spirit yang amat mendasar antara golongan ahli ilmu tersebut dengan ahli ilmu yang ulul albab, yakni pada aspek apakah iman kepada Allah Swt dan RasulNya Saw dijadikan pilar pertama, sumber rohaninya, nilai ketulusan hatinya, ataukah tidak. Ilmunya bisa saja sama, sekompeten, tetapi ihwal kualitas iman dan tawakal semata kepada Allah Swt inilah yang membuahkan perbedaan besar kemudian.

Tentu kita bisa memahami bahwa orang yang ahli Ushul Fiqh, misal, tetapi hatinya tidak bersih, pun tidak takut kepada balasan Allah Swt di akhirat, buah aplikasi ilmunya yang argumentatif dan otoritatif secara analisis keilmuan takkan menghantarnya makin dekat kepada Allah Swt. Yang ada hanyalah kerusakan-kerusakan, kemadharatan-kemadharatan.

Simaklah surat al-Mukminun ayat 71: “Umpama kebenaran (al-Haq) telah mengikuti hawa nafsu mereka, maka sungguh akan rusaklah langit dan bumi beserta segala apa yang ada di antara keduanya.

Jugasurat Ali Imran ayat 78: “Sesungguhnya di antaramerekaterdapatsegolongan orang yang memutar-mutarlisannyamembaca al-Qur’an supayakamumenyangka yang dibacanyaituadalahbagiandari al-Qur’an, padahalitubukanbagiandari al-Qur’an, danmerekamengatakan, ‘Ia (yang dibaca) adalahdatangdarisisi Allah Swt.’ Tidak, iabukandatangdarisisi Allah Swt, sebabmerekaberdustakepada Allah Swtdanmerekamengetahuinya.

Ayat-ayat ini seyogianya menjadi alarm bagi kita semua betapa tidak serta merta nukilan-nukilan, tuturan-tuturan, dan keterangan-keterangan yang kebak ayat dan hadis, mutlakbersambungdengantaqarrubilaLlah. Tidak juga. Boleh jadi, lisan kita cekatan sekali menyebut ayat ini dan itu, tetapi dikarenakan hati kita tidak tulus, murni, dan takut kepada Allah Swt, yang lalu keluar dari ucapan dan perbuatan kita adalah kerusakan-lerusakan yang dibenci olehNya Swt.

Allah Swt telah mengingatkan kita dalam surat al-Baqarah ayat 204-205: “Dan di antara manusia dalam kehidupan dunia ini ada orang yang ucapannya membuatmu kagum, dan ia mempersaksikan ucapannya kepada Allah Swt (terhadap kebenaran) isi hatinya, padahal dia lah penantang (kebenaran Allah Swt) yang sangat keras. Dan ketika mereka berjalan di muka bumi ini, mereka menimbulkan kerusakan dan kehancuran pada tanaman (kehidupan, bumi) dan keturunan (kemanusiaan). Dan Allah Swt tidak menyukai perbuatan yang merusak.

Boleh jadi pula, anomali ilmu sejenis itu dipicu oleh telah tertutupnya hati dari kemahakuasaan Allah Swt, alias menyembah ilmunya dengan sedemikian tebalnya, hingga menghijabi hatinya. Kalangan begini dapat dikatakan sebagai ahli ilmu yang menyembah hawa nafsu ilmunya, bukan menyembah Allah Swt. Mereka bisa saja tak lagi merasakan bahwa ucapan dan perbuatannya yang mengatasnamakan ilmu sejatinya adalah kebatilan dan kerusakan, bukan kebaikan dan apalagi kebenaran.

Al-Baqarah ayat 11-12 telah mengingatkan: “Dan ketika dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi.’, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami adalah golongan orang-orang yang menebar kebaikan.’ Tidak, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan tetapi mereka tak merasakannya.

Sebagai “tuntunan teknis” buat permenungan kita, antara tuntutan mencari ilmu untuk meningkatkan derajat kualitas kita, di dunia dan akhirat, dan sekaligus mewaspadai rawannya jebakan hawanafsukepadamarwahilmu hinggamenjerembabkan kita kepada kebatilan, mari kita simak nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah ini.

Beliau menasihatkandalamkitabFutuh al-Ghaib:

Bertawadhu’lah, karenaiaakanmenguatkanposisiseoranghamba, meninggikanposisinya, menyempurnakankemuliaandankeagungannya di sisiNyadan di hadapanmakhluk. Iaakanmampumendapatkansesuatu yang diinginkannyadariurusanduniadanakhirat. Denganini, seoranghambaakanmendapatkanposisi orang-orang saleh yang ridhadenganNya, baikdalamkeadaansenangmaupunsengsara.

Tawadhu’adalahjikaseoranghambabertemudengan orang lain, daniatidakmelihatkelebihanpadanya, iaberkata, ‘Barangkaliialebihbaikdariku di sisiNyadanlebihtinggiderajatnya.’ Jika yang dijumpainyaanakkecil, iaberkata, ‘Orang inibelumbermaksiatkepadaNya, sedangkanakusebaliknya. Tidakdiragukanbahwaialebihbaikdariku.’ Jika orang yang dijumpainyalebihtua, iaberkata, ‘Orang initelahmenjadihambaNyasebelumaku.’

Jika yang dijumpainya orang alim, iaberkata, ‘Orang initelahdiberikansesuatu yang belumakudapatkan. Iamengetahuisesuatu yang akutakmengetahuinyadaniatelahmengamalkanilmunya.’ Bilaberjumpadengan orang bodoh, iaberkata, ‘Orang inibermaksiatkepadaNyadengankejahilannya, sedangkanakubermaksiatkepadaNyadenganilmu.’ Apabilaberjumpa orang kafir, iaberkata, ‘Akutidaktahu, barangkaliiaakanmasuk Islam, sehinggaiamenutupkehidupannyadenganamalan yang paling baik. Dan, sebaliknya, bisajadiakukafir, sehinggaakumengakhirihidupkudenganamalan yang buruk.’

Tawadhu’ merupakanpintukasih sayangdangetaranhatikarenatakutkepada Allah Swt. Jikaseoranghambatelahbegitu, maka Allah SwtakanmenyelamatkannyadariberbagaibelenggudanmengantarnyamenujujalanNya. Iaakanmenjadi orang yang disucikandandicintaiNya.

Tawadhu’adalahpinturahmat yang dapatmematahkanpintukesombongandantaliujub.

Tawadhu’adalahotaknyaibadah, puncakkemuliaan, tidakadasesuatu yang lebihbaikdarinya.

Tawadhu’menjadikansemuaamalan(sebersandarapa pun padailmu yang hebat) tidaksempurnakecualidengannya.

Tawadhu’akanmenyelamatkandarisifatkhianat, sombong, danmengingkarihatinurani.”

Lalu, terakhir, mariingatselalubahwa puncak segala perjalananpenyelaman ilmu sejatinya tiada lain adalah: “(Al-Qur;an) ini adalah keterangan yang sempurna bagi manusia, supaya mereka memberikan  pengingat dengannya dan supaya mereka mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt adalah Tuhan yang Esa dan supaya ulul albab bisa mendapatkan pelajaran darinya.” (QS. Ibrahim 52).

Wallahua’lambishshawab.

Jogja, 3 Oktober 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *