Dari Surakarta, Sejarah PMII Dimulai dan Dirumuskan

Dari Surakarta, Sejarah PMII Dimulai dan Dirumuskan

Dari Surakarta, Sejarah PMII Dimulai dan Dirumuskan

Bila membincang tentang sejarah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), tentu tidak akan pernah lepas dari Kota Surakarta. Sebab meski deklarasi pendirian PMII dilaksanakan di Surabaya, namun dari 13 orang yang mendeklarasikan lahirnya PMII pada 16 April 1960 tersebut, tiga di antaranya berhubungan erat dengan Kota Surakarta.

Dua utusan dari PTINU (kini UNU) Surakarta, Nuril Huda dan Laily Mansur, dan seorang lagi, Chalid Mawardi, meskipun ia tercatat sebagai wakil dari Jakarta, namun ia lahir di Surakarta dan bahkan ikut andil dalam awal pendirian IPNU di daerah tersebut. Chalid ikut pindah ke Jakarta bersama ibunya, Nyai Hj Mahmudah Mawardi yang terpilih menjadi anggota DPR RI hasil Pemilu tahun 1955.

Selang satu tahun kemudian, PMII Cabang Surakarta yang kala itu dipimpin Mustahal Achmad didapuk menjadi tuan rumah Kongres pertama PMII, yang dihelat di Wisma Pertanian Tawangmangu Karanganyar, sebuah daerah yang berjarak sekitar 42 Km dari Kota Surakarta.

Kemudian setelah kongres selesai, diadakan acara “resepsi” di salah satu gedung di daerah Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Dalam kongres pertama tersebut, memilih kembali Mahbub Djunaidi, yang pernah menimba ilmu di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) PMII.

Proses terpilihnya Mahbub sebagai ketua ini, sebagaimana yang digambarkan M. Said Budairy dalam tulisannya pada buku Sudah Benar PMII Tetap Islam (1997): “Dia (Mahbub) juga tidak mengkampanyekan diri, apalagi sampai mendirikan posko di dekat medan musyawarah. Tapi Mahbub terpilih sebagai ketua umum!”

Situasi yang disampaikan Said Budairy ini barangkali akan sulit ditemukan pada perhelatan Kongres PMII (dan bahkan mungkin RTAR) di masa sekarang, di mana jabatan menjadi sebuah hal yang diperebutkan, dan jika perlu mencari talangan (modal) dana, yang berujung pada “politik balas budi”.

Selain memilih kembali Mahbub sebagai ketua, dari pelaksanaan kongres yang diselenggarakan di wilayah Karesidenan Surakarta tersebut melahirkan Deklarasi Tawangmangu. Dari Surakarta, melalui Deklarasi Tawangmangu inilah, PMII dirumuskan.

Deklarasi Tawangmangu yang kemudian dipaparkan lebih terperinci dalam Penegasan Yogyakarta (1963) tersebut juga memiliki arti penting bagi PMII dalam menentukan sikap dan pendiriannya, di mana PMII menentang keras kolonialisme, diktatorisme, kapitalisme, dan lainnya.

Menjadi menarik dan cukup berani, sikap anti-diktatorisme tersebut disuarakan pada era Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup.

Pun dengan istilah Sosialisme Indonesia, sebagai sebuah pandangan dan konsep untuk mendorong terwujudnya negara yang berpihak kepada rakyat, dengan berpegang teguh pada penghormatan mutlak hak asasi manusia, demokrasi, penyusunan tata perekonomian berdasarkan azaz kekeluargaan atau ta’awun, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, termasuk bumi, air, dan kekayaan alam, mesti dikuasai negara untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Sikap dan pandangan tersebut tentu juga masih sangat relevan untuk menjadi prinsip PMII di masa kini dan mendatang, mengingat segala bentuk penindasan tersebut sampai saat ini masih ada, dan bahkan bentuk dan modelnya mengikuti perkembangan zaman, terlebih di era Revolusi Industri 4.0 saat ini.

Sebuah era yang ditandai dengan munculnya Internet of Things (IoT), big data, artificial intelligence, cloud computing, dan istilah-istilah lain yang mungkin membuat kita bakal semakin mengerutkan dahi.

Perubahan era ini, yang akan menjadi tantangan besar bagi organisasi sosial kepemudaan seperti PMII. Saya bisa membayangkan, di masa depan, PMII menjadi semacam “paguyuban” yang tidak diminati lagi, karena memang tidak mampu menjawab apa yang dibutuhkan oleh generasi di masa itu.

Bisa pula, karena PMII tidak memiliki visi yang jelas untuk menghadapi derasnya perubahan zaman tersebut. Maka sudah semestinya PMII memikirkan, syukur sudah memiliki, formula untuk menghadapi tantangan zaman ini.

catatan kaki:
1. Pada awal berdirinya PMII di Kota Surakarta, dua kampus yang menyokong yakni PTINU (kini UNU) dan Universitas Cokroaminoto (pada tahun 1975 digabungkan bersama kampus lainnya menjadi Universitas Gabungan Surakarta (UGS), yang menjadi cikal bakal Universitas Sebelas Maret atau UNS, dan kemudian melahirkan Komisariat Kentingan). Menyusul beberapa tahun berikutnya, lahir beberapa komisariat baru, seperti Kom. STAIN (kemudian menjadi cabang tersendiri, cabang Sukoharjo), UNIBA (Kom. Agus Salim), dan UMS (Kom. Pabelan).

2. Mustahal Achmad (1935-1994) merupakan putra Kiai Masyhud, tokoh pendiri NU Surakarta. Ia juga paman dari Chalid Mawardi, meski demikian usia keduanya tidak terpaut jauh. Mustahal merupakan tipikal kader NU yang merintis dari bawah. Dia merintis karirnya dari IPNU Surakarta (1954-1956), kemudian GP Ansor Surakarta (1952-1964), Ketua PMII Surakarta (1960-1962), Wakil Ketua PCNU Surakarta (1964-1967), dan sebagai anggota DPRD Jateng dari Partai NU (Pemilu 1971).

PMII Dimulai dari Surakarta

Semoga artikel Dari Surakarta, Sejarah PMII Dimulai dan Dirumuskan ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait di sini

kunjungi juga channel youtube kami di sini

Penulis: M Ajie Najmuddin, LTN NU Surakarta

Editor: Anas Muslim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *