Dari OTT KPK: Cianjur, Intoleransi, dan Korupsi

bupati cianjur

Saya mengamati Cianjur sejak era bupati Wasidi Swastomo. Dia meresmikan kabupaten ini sebagai Gerbang Marhamah. Dari sini diterbitkanlah beberapa regulasi berbasis syariah.

Ketika itu saya studi tentang Ahmadiyah di Ciparay. Mereka dipersekusi berkali-kali. Secara administrasi kepemerintahanan mereka juga didiskriminasi.

Lalu bupati Wasidi diganti oleh Tjetjep Muchtar Soleh. Politisi senior ini berkuasa sepuluh tahun lamanya. Orang-orang memanggilnya babeh, semacam godfather dalam film-film tentang mafia Italia.

Sementara itu, angka intoleransi di Cianjur sangat tinggi. Kelompok seperti Gerakan Islam Reformis yang radikal sering melakukan aksi. Kelihatan sekali ada aliansi antara kelompok ini dan para politisi serta aparat birokrasi.

Kemudian Bupati Tjetjep diganti oleh anaknya sendiri, Irvan Rivano Muchtar. Dia memindahkan pusat pemerintahan Cianjur ke Campaka. Tidak terlalu jelas alasannya, tetapi yang pasti rumah dinas bupati dibangun seluruhnya berbahan kayu yang sangat mewah. Kebijakannya yang paling terkenal adalah gerakan shalat berjamaah. Bagi PNS ini adalah kewajiban, sehingga di masjid agung Cianjur disediakan alat pemindai untuk menghitung siapa yang hadir dan siapa yang tidak.

Meski mencitrakan diri sebagai kota yang syar’i, korupsi yang menggila telah menjadi bisik-bisik sejak lama. Kemarin bisik-bisik itu muncul di berita nasional. Secara ironis suruhan bupati tertangkap tangan sedang menerima uang korupsi di depan masjid agung Cianjur selepas kegiatan shalat subuh berjamaah. Bupati Irvan pun langsung dijemput KPK di rumahnya.

(Penulis: Amin Mudzakkir, Peneliti LIPI)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *