Dakwah Nabi Junjung Etika, Mengapa Ceramah Da’i Suka Provokasi?

Belajar dari Kisah Gajah yang Kalah

Antara Dakwah Nabi dan Ceramah Da’i

Saya tak habis fikir dengan penceramah yang suka membicarakan agama orang lain dengan kalimat menyerang, merendahkan, provokatif dan negatif. Sudah begitu, pembicaraan itu dilakukan sepihak dalam panggungnya sembari ditertawakan bersama-sama dengan pengikutnya yang fanatik.

Apa iya, dalam sejarah dakwah Rasulullah saw., beliau melakukan dakwah dengan cara serendah itu?.
Rasanya tidak. Beliau sejak awal dipersiapkan dengan kematangan moral sebagaimana berkali-kali beliau tegaskan dalam berbagai narasi.

Lihatlah, karena interaksi beliau yang sangat beradab, etikanya kelas langit [Tuhanku yang mendidikku-اديني ربي], seorang Yahudi yang setiap hari memaki dan melaknatnya pun rindu dan merasa sangat terpukul saat tahu ia telah kehilangan Muhammad untuk selama-lamanya. Betapa indahnya relasi antara Sang Pembawa Risalah Nubuwah itu dengan lingkungannya, dengan siapa pun yang berada di dekatnya.

Lalu, sedemikian nyata dan empirik itu, contoh-teladan yang ditampilkan langsung oleh Nabi, tapi masih saja tak peduli. Seolah punya cara dan konsep dakwah sendiri yang jauh lebih baik dari cara dakwah Nabi.

Islam sendiri sebenarnya telah menyediakan ruang dialog dengan agama lain, demikian disebut dalam Al-Quran dengan ungkapan, وجادلهم بالتي هي أحسن. Dalam istilah sederhana, dialog cerdas dan berkualitas. Ejekan dan makian adalah cara sebaliknya, lambang kesombongan, kebodohan dan rendahnya etika.

Gelisah dalam dakwah pernah dialami oleh Rasulullah , terlebih saat beliau merasa tidak berhasil mengislamkan sebagian keluarga dekatnya. Tapi beliau diingatkan oleh Allah, bahwa beliau tugasnya menyampaikan, mengingatkan, dan tidak punya wewenang memberikan hidayah, karena hidayah adalah domain, wilayah kuasa dan hak prerogatif Allah swt.

Jika Rasulullah saw, diingatkan demikian, tugasnya dalam dakwah sebatas mudzakkir, lalu apakah para penceramah / dai hari ini tugasnya melampaui beliau saw.? Tentu tidak. Sama sekali tidak, bahkan sangat jauh.

Nah,. Jika kita tilik kembali tentang kematangan sikap dan perilaku Nabi, bahkan jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, maka bisa jadi, sikap provokatif dalam setiap pembicaraan penceramah itu, berasal dari ketidak mampuan melihat aspek moral-etik yang dimiliki oleh Nabi yang sekaligus menjadi modal utama dan penting sebelum berdakwah.

Lihatlah juga sebagian penceramah yang berasal dari perpindahan agama sebelumnya itu, rata-rata mereka sangat provokatif saat diberi panggung. Mereka habis-habisan mencela agama lamanya di depan para audiensnya. Kenapa seperti itu ?

Ya karena sebenarnya mereka ini belum layak tampil sebagai penceramah, pendakwah atau apa pun yang sifatnya ditokohkan. Mereka ini kan masih sangat muda, masih hijau dalam pengetahuan agamanya. Masih kanak-kanak itu harus banyak belajar. [Ajaran] agama ini bukan hanya tentang ikrar-persaksian, shalat dan ritual keagamaan saja. Tapi juga tentang etika, moral, adab, akhlak.

Aneh rasanya melihat mantan pemeluk agama lain yang baru saja masuk agama ini kemudian dengan penuh kebencian menghabisi agamanya yang sebelumnya. Apa iya, dulu Umar bin Khattab atau sahabat lainnya berlaku demikian?. Tentu tidak.

Tapi jauh lebih aneh lagi, orang-orang yang nanggap dan memberi panggung itu. Lha wong orang yang baru itu mestinya diberi ruang belajar, eh malah diberi panggung ceramah. Kan aneh tapi nyata.

Orang yang pandai di tempat asalnya, boleh jadi bodoh di tempat barunya.

Dan, jangan semata mencari kepuasan tawa dan sorak sorai, kemudian rela melawak demi menuai wajah tergelak. Itu.

Penulis: Dr Tajul Muluk, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU DIY.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *