Al-Ankabut 58-59 – Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka di tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal baik, (yaitu) bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.
Iman, tawakkal, dan sabar.
Circle tiga terma ini membentuk kesatuan saling terkait. Jika salah satunya kendor, dipastikan dua lainnya pun kedodoran. Jadi, relasi ketiganya semacam “saling menandai”.
Tentu, jangkarnya adalah iman. Iman adalah asalinya semata penerimaan, yang lalu meruahkan kepasrahan yang hakiki –dan ini kita sebut tawakkal.
Tentu pula, dalam perjalanan beriman, dengan sematan karunia akal pada diri kita, segala temuan dan gerakan rasionalitas terkini, dan juga sains teknologi, dll., bisa menjadi peneguh pada bangunan iman di hati itu. Umpama di dalam proses sintesis begitu terdapat hal-hal tertentu yang tak sejalan dengan nalar dan temuan sains atau tak terjelaskan oleh keduanya, jawabannya buat mukmin semata kembali kepada hakikat iman tadi, yakni penerimaan. Jadi, finally, beriman ya semata penerimaan, kepada yang terjangkau akal kita atau belum/tidak. Titik.
Sikap kedua, tawakkal, merupakan buah langsung dari iman. Kekarnya postur ketawakkalan kita dalam menjalani realitas apa pun, yang menyenangkan diri atau memyedihkan, berbanding lurus dengan gempalnya penerimaan iman kita tadi.
Tawakkal karenanya seyogianya telah menyala di awal kita berapa saja. Tawakkal bukanlah penerimaan pada hasil belaka di ujung sebuah perjalanan. Tawakkal adalah sekaligus start dan finish hidup kita, dalam apa saja.
Umpama di pikiran saya saat ini tercetus ide untuk berdagang motor lawasan eksotis, macam Impressa dan Kaze, maka keniscayaan bagi saya untuk menawakkali cetusan ide tersebut bahkan di derajat ide. Ihwal ia terus berjalan jadi eksekusi, itu pun terbingkai dalam ketawakkalan. Kelak hasilnya memuaskan atau tidak, ketawakkalan pula bingkanya. Karena iman itulah kita senantiasa merujukkan dan menghadapkan semua yang kita rasakan dan lakoni semata kepadaNya Swt. Dalam ungkapan lain dengan esensi yang sama, ia adalah kebersyukuran.
Sabar lalu menjadi tarekat, jalan, kita dalam mengarungi jalan realitas hidup apa saja. Sabar dalam ketidaksesuian harapan dan pula sabar dalam lambungan pencapaian.
Sabar yang berfondasikan iman yang berspirit selalu ketawakkalan otomatis tiada kenal batas. Ungkapan “sabar ada batasnya” sama sekali bukanlah ekspresi kekekaran iman dan kegemplan ketawakkalan.
Dikarenakan kita haqqul yaqin dengan semata penerimaan bahwa apa pun yang kita rasakan dan jalani adalah keputusanNya yang terbaik saat ini buat kita, maka umpama ia berupa kegagalan, ia pun mudah saja diterima sebagai keputusanNya yang terbaik. Hanya karena ia tak sejalan dengan keinginan, tawakkalnya berjubahkan kesabaran. Sabar atas ketidaksesuaian dengan keinginan itu. Dan ia tak berbatas….
Dan, Allah Swt selalu adalah Tuhan yang Maha Welas Asih, Rahman dan Rahim. Bahkan kepada orang yang mengingkariNya, Dia Swt berikan penghidupannya.
Maka lalu tugas lahiriah, syariat, kemanusiaan kita ya semata menunaikan hal-hal yang memang menjadi perintahNya untuk kita jalankan, seperti berikhtiar, berjuang, berstrategi, dan sejenisnya. Ihwal pencapaian, Allah Swt lah yang Maha Tahu takaran terbaiknya buat kita dan kita senantiasa lega menerimanya dengan prinsip kerja circle tiga terma itu.
Al-Ankabut 69 – Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.
Penulis: KH Dr Edi Mulyono, wakil ketua LTN PWNU DIY.