Masfufah, S.Th.I, Mahasiswi Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Konsertasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Koordinator Program Alimat (Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia Perspektif Islam)
Tadi saya menyaksikan Satu Indonesia di Net Tv yang menayangkan kekerasan yang dialami oleh perempuan. Jumlahnya pun sangat fantastis dan bentuk kekerasannya semakin menggelengkan kepala, karena di luar nalar sehat.
Adapun bentuk kekerasannya bermacam-macam, mulai dari yang ringan hingga ekstrim dan mayoritas dialami oleh perempuan dalam rumah tangga. Ironis bukan?
Rumah tangga sejatinya menjadi tempat berlindung pertama dan paling utama, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, sumber kekerasan dan penderitaan. Data yang ditayangkan menunjukkan bahwa diantara kekerasan paling ekstrim dalam rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap istri dengan motif cemburu. Misal kejadian di Bali (6 September 2017) suami tega memotong kaki sebelah istri dan di Garut, Jabar (24 Mei 2017) suami tega menggilas istri dengan kendaraan berat yang berakhir dengan meninggal dunia, dan masih banyak kejadian mengerikan lainnya.
Tindakan kekerasan seperti ini sudah banyak sekali memakan korban tapi kok yo pemerintah sepertinya biasa-biasa aja, tidak ada regulasi hukum yang lebih serius dan ketat dalam mengatur hal ini.
Kemudian saya berfikir, apakah tindakan kekerasan khususnya yang dilandasi cemburu itu dibenarkan dan dianggap wajar ya?
Banyak fakta menunjukkan jika laki-laki cemburu (apakah cemburunya itu terbukti benar atau salah) tidak hanya mulut yang bergerak mencaci maki, tapi juga tangan ikut bereaksi (memukul, membunuh, menyakiti dll), tentu ini jauh sekali dari konsep sabar apalagi tabayyun dan intropeksi diri.
Tapi aneh seribu aneh, jika perempuan yang mengalami rasa cemburu (baik yang hanya sebatas prasangka atau terbukti adanya perselingkuhan yang dilakukan suami dan bahkan dipoligami) perempuan itu dijejali dengan konsepp sabar, nerimo, tidak boleh reaktif apalagi marah dan memukul, karena kalau mukul akan dipukul balik.
Kejadian dan perilaku seperti ini di diamkan, dibiarkan dan bahkan sebagian masyarakat mengamini. Jika demikian, maka sampai di sini saya melihat adanya sebuah kedzoliman yang sangat nyata dan luar biasa.
Terlepas dari yang berlaku dzolim atau yang didzolimi, karena semestinya ini tidak boleh terjadi dan pentingnya sabar, tabayun dan intropeksi diri, saya ingin mengajak semua berfikir bahwa rasa marah, tersakiti, cemburu, bahagia, senang, kesal dan lainnya adalah sunnatullah atau fitrah manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Segalanya kepada hamba-Nya.
Jangan pernah diabaikan tapi juga harus bijak dalam mengelolanya, sehingga kita semua bisa selamat dari malapetaka yang sesungguhnya bisa kita timbulkan sendiri dan sebaliknya, bisa kita hindari.
Wallahu A’lam.