Catatan Munas-Konbes: Pesantren Citangkolo Pernah Dibakar Belanda (06)

pengasuh pesantren citangkolo

MUNAS-KONBES, KOTA BANJAR

Usai sarapan, kami bertiga (dengan Mas Ulil dan Mas Imdad) melanjutkan jalan-jalan ke arena Munas-Konbes. Sementara Mas Rum dan Mas Idris pulang duluan ke penginapan.

Di kiri-kanan jalan masuk arena Munas tampak kesibukan para pedagang menyiapkan lapaknya, ditingkahi sebagian lain yang masih merapikan lokasi stand bazar. Sementara di beberapa sudut, nampak para Banser dan Pesilat Pagar Nusa sudah berjaga-jaga dengan seragam kebanggaannya.

Di jalanan nampak beberapa kali sepasukan forijder polisi bolak balik dengan raungan sirine dan kecepatan tinggi. Sepertinya mereka sedang latihan pengamanan RI-1 untuk acara pembukaan besok.

Kami langsung masuk ke kompleks pesantren, menuju rumah kediaman Kyai Marsyudi Syuhud, salah seorang ketua PBNU, yang juga menantu di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar ini. Kami melewati panggung utama pembukaan yang sudah rapi tertata, barisan panjang MCK yang disiapkan untuk para tamu, mobil salah stasiun TV yang sedang bersiap meliput acara, bedug keramat peninggalan para pendiri pesantren yang berdiri gagah di depan Ndalem kyai Munawir dan kompleks makam pendiri Pesantren.

Di rumah Kyai Marsyudi, yang berada tepat di utara makam pendiri pesantren, kami disambut hangat, dengan berbagai jajanan dan kopi hangat. Cerita pun mengalir panjang lebar dari tuan rumah tentang sejarah panjang Pesantren ini.

Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar ini didirikan oleh Kyai Marzuqi, salah satu anggota keluarga Pesantren Sumolangu Kebumen. Sebagaimana Sumolangu, darah pejuang juga mengalir dalam diri keluarga Pesantren Citangkolo ini. Mereka dulu rata-rata tergabung dalam AOI (Angkatan Oemat Islam), barisan pejuang kyai dan santri yang didirikan oleh Kyai Sumolangu atas perintah Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.

Pesantren ini, dulu berkali-kali dibakar Belanda yang marah karena sering diserbu gerilyawan AOI. Beberapa anggota keluarga pesantren juga ada yang ditangkap Belanda dibawa ke penjara Ambarawa dan tak jelas lagi di mana rimbanya hingga saat ini.

Ikut andil dalam perjuangan mendirikan dan mempertahankan NKRI membuat masyarakat Sumolangu dan Citangkolo memiliki kebanggaan tersendiri. Harga dirinya sangat tinggi, diiringi ketaatan dan keramahan ala santri. Rasa bangga dan harga diri sebagai bagian dari pendiri republik ini pernah menimbulkan salah paham dengan pemerintah pusat, yang kemudian menganggap Pesantren Sumolangu dan jaringannya sebagai pemberontak dan ditumpas.

Karena Operasi militer atas Pesantren Sumolangu itu pula banyak keluarga Pesantren dan santri-santri senior yang melarikan diri dan berlindung jauh dari kampung asal mereka. Citangkolo adalah daerah terdekat yang dijadikan persembunyian. Sebagian lain ada yang hijrah ke pedalaman hutan di Jember, Riau, kota-kota di Kalimantan, bahkan di Malaysia. Sebagian dari mereka lalu menetap, berdakwah dan mendirikan pesantren di tempat persembunyian.

Di masa orde baru, keluarga Pesantren Sumolangu dan Citangkolo juga kerap dicurigai akan menjegal dominasi politik pemerintah. Sehingga beberapa keluarga Kyai ditangkap dan diinterogasi serta disiksa, sebelum ditahan. Meski terus ditekan, jiwa pejuang tidak pernah surut di dada keluarga Pesantren. Baru setelah reformasi dan orde baru runtuh, masyarakat Citangkolo dan Sumolangu merasa benar terlepas dari kecurigaan dan intimidasi penguasa. Kini keluarga Pesantren dan masyarakat bisa sepenuhnya berjuang untuk NU dan bangsa yang dicintainya jauh sejak jaman Penjajahan.

Setelah panjang lebar ngobrol, kembali Kyai Marsyudi memaksa kami untuk sarapan di rumahnya. Kali ini untuk menemani seorang habib aktivis NU dari Cimahi. Apalah daya rejeki pamali ditolak. Sementara di kompleks makam pendiri, nampak pengurus Lakpesdam lain, Mas Ahsanul Minan, nampak sedang khusyuk berziarah dan berdoa.

Sayang pertemuan hangat pagi itu harus berakhir, karena Mas Imdad sudah dijemput panitia untuk mengisi acara Ngaji Plastik bersama Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PBNU. Saya dan Mas Ulil pun kembali ke penginapan. Di penginapan rombongan Tim Program Peduli Lakpesdam baru saja tiba: Nurun Nisa’, Muawanah, dan Vicky, sementara Ufi Ulfiah dan lainnya menyusul siang ini.

Penulis: Ahmad Iftah Sidik, santri Habib Lutfi dan Khodim Pesantren Fatahilah Bekasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *