Catatan Munas-Konbes: Gus Ulil yang Selalu Diburu Selfie (08)

gus ulil

MUNAS-KONBES, KOTA BANJAR

Hari ketiga di Citangkolo. Tidur di teras ternyata jauh lebih nikmat daripada di kamar. Hehe. Saya baru bangun terkaget-kaget digugah Kyai Idris. Sudah jam 05.30.

Usai shalat kami kembali jalan-jalan. Bedanya, kali ini rombongan bertambah emak-emak program Peduli : Ufi, Nisa, Muawanah dan Vicky.. oh ya plus Arif. Bedanya lagi kali ini kami bawa uang semua, dan bawa hape.

Perjalanan pagi ini mengambil rute berbeda. Saat melewati pertigaan penjual serabi kami tidak belok kiri kaya kemarin, tetapi lurus terus. Dan ajiiiibb.. segera saja tersaji pemandangan yang didominasi oleh persawahan. Hijau sejauh mata memandang.

Tapi, biar pun di desa, tetap saja Munas ini acara NU tingkat nasional. Meski jalan-jalan di pinggir sawah tetap aja ada yang kenal sama kami, eh maaf.. maksudnya Mas Ulil. Ada dua orang pengendara motor yang melintasi kami dengan kecepatan tinggi, tetiba ngerem.. dan puter balik. “Gus Ulil ya? Boleh minta foto..?” Kami pun tertawa ngakak. “Ampuuun deh udah ngumpet di sawah masih aja ada yang ngajak selfie..”

Setelah mencapai jarak yang bikin betis pegal, kami putar balik ke arah pulang. Kali ini kami singgah di warung serabi.

Nikmat sekali makan serabi yang baru keluar dari tungkunya. Apalagi diselingi dengan segelas kopi atau teh tawar panas dan gorengan. Lebih nikmat lagi, ternyata saat berhitung, sepuluh orang dewasa dengan tingkat lapar yang luar biasa di pagi hari cuma menghabiskan biaya 40.500 rupiah. Kami nyeletuk, “Ya Allah, buu.. kapan kayanya kalo dagang harga segitu…”

Usai jalan-jalan kami kembali ke penginapan, lalu ngobrol dibteras dengan teman-teman LKNU, Makky Manar dan Achmad Franky Syarip, yang ngepos tak jauh dari tempat kami menginap. Kemudian mandi pagi dan bersiap menuju arena.

Sengaja merapat ke arena agak awal memang. Karena kami khawatir akan kesulitan masuk jika mepet pembukaan. Benar saja jalan masuk ke arena sudah sangat padat dipenuhi peserta Munas dan penggembira.

Tak semuanya bisa masuk memang, karena penjagaan Paspampres lumayan ketat. Tentara perempuan cantik berjilbab tampak menggeledah tas ibu-ibu satu persatu, untuk memastikan tidak ada benda berbahaya yang terbawa masuk. Para pengawal itu lupa, bahwa yang sebetulnya paling berbahaya dari ibu-ibu ini adalah senyumnya. Atau mungkin sebenarnya mereka sadar, tapi bingung mau diapakan. Masak iya senyum itu mau disuruh lepas dan ditinggalkan di meja Paspampres. Ahahaha..

Setelah masuk ke ring satu, berdiri sejenak, kami pun lalu memutuskan untuk tidak jadi duduk di kursi tamu yang disediakan. Karena hawa di sekitar panggung itu panas sekali. Belasan AC portabel yang ada di ruangan belum dinyalakan. Akhirnya kami keluar lagi di arah yang berbeda, menikmati sarapan dengan menu terik telur dan opor ayam di depan rumah keluarga pengasuh pesantren.

Usai sarapan sebagian kami memilih beristirahat di kamar khusus untuk para perumus hasil Bahtsul Masail, di bagian belakang Pesantren, tak jauh dari panggung utama. Saya sendiri bersama Nisa dan Mua memilih berziarah ke makam pendiri pesantren K.H. Abdurrahim yang bersama istri dan kerabat di makamkan tak jauh dari panggung utama pembukaan Munas.

Berbeda dengan di arena Nuansa yang padat merayap, di makam pendiri pesantren suasana lengang. Sehingga kami bisa dengan leluasa dan khusyuk berziarah, membaca tahlil dan doa.

Usai berziarah, kami berpisah. Muah dan Nisa jalan-jalan berkeliling arena, dan saya menyusul teman-teman se-basecamp yang sudah duluan istirahat di kamar perumus BM. Saat saya masuk, tampak mereka sedang ngobrol dan bercanda dengan penginap di kamar tersebut : Kyai Moqshit Ghazali, Kyai Ahmad Suaedy dan beberapa teman lainnya.

Menjelang tengah hari kami dapat kabar bahwa acara pembukaan dimajukan, dari pukul 13.00 menjadi pukul 12.00. Kami pun segera menuju ke arena. Tapi lagi-lagi, sampai di depan panggung utama, kami mundur.. setelah AC menyala, hawa panas masih sangat terasa. Kami pun kembali ke tempat sarapan tadi, dan bermaksud duduk-duduk di teras.

Ternyata di ruang tamu sedang banyak tamu, ada Kyai Husein Muhammad, ada juga Kyai Abdullah Kafabih Machrus dan beberapa kyai sepuh PBNU lainnya. Kami pun sowan dan mencium tangan para kyai yang sebagian besar duduk sebagai Rais Syuriyah PBNU itu. Setalah itu kami kembali ke teras dan duduk nyantai bersandar dinding. “Ah di sini lebih enak, nyantai.”

Penulis: Ahmad Iftah Sidik, santri Habib Lutfi dan Khodim Pesantren Fatahilah Bekasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *