MUNAS-KONBES, KOTA BANJAR
Seharian kemarin (26 Februari 2019), usai jalan-jalan dan sowan, kami istirahat di penginapan. Semakin siang, baru terasa suhu Citangkolo ternyata lumayan panas. Kata pemilik rumah, karena posisi desa ini di dasar lembah yang diapit perbukitan, sehingga angin tidak banyak terasa embusannya.
Bakda zhuhur, kami mandi lagi untuk menyegarkan badan, meski kemudian sebelum benar-benar keluar dari kamar mandi badan sudah mandi keringat lagi. Haha, namanya juga usaha. Setelah berganti pakaian, kami pun bergeser ke lokasi Bazar Ilmiah di kampus STAIMA, tempat Halaqah Fiqih Kebahagiaan Lakpesdam akan diselenggarakan.
Dengan menumpang mobil Gus Jamal, pengurus Lakpesdam PBNU asal Cirebon, kami menuju ke kampus. Sampai di sana sepi.. lalu tergopoh-gopoh panitia mengatakan acara Halaqah digeser ke ruang sidang Komisi Organisasi di Arena Muktamar. Hehehe, NU banget.. kami dan para narasumber diarahkan berjalan kaki lewat jalur tembusan lewat kampung.
Sampai di sana juga masih sepi.. setelah menunggu satu jam lebih, akhirnya acara dimulai. Perlahan ruangan mulai penuh dengan para mahasiswa. Sayangnya mereka hanya bertahan setengah jam, sebelum kemudian menyusut pesat.. mungkin tema kebahagiaan hakiki terlalu abstrak bagi mahasiswa, hahaha
Acara dibuka oleh Kyai IdrisĀ Mas’udi dengan sedikit ulasan Rousel tentang kebahagiaan secara falsafi. Dalam pembukaan itu dikutip juga ungkapan terkenal Plato, “Ghayatus Siyasah As-Sa’adah”. Lho kenapa Plato yang orang Yunani berbicara dalam Bahasa Arab..?? Makanya ngaji… Hehehe
Kemudian Ufi memulai pemaparan dengan bercerita mengenai capaian-capaian program Peduli Lakpesdam mendampingi kelompok-kelompok minoritas dan tereksklusi di berbagai daerah di Nusantara, seperti Suku Kajang di Sulawesi Selatan, Dayak Losarang di Indramayu, Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, dan kelompok Syiah di Jember. Dengan pendampingan Lakpesdam, Alhamdulillah, hak-hak sipil mereka sebagai warganegara yang semula banyak yang tereksklusi, sekarang sudah relatif terpenuhi. Perlu akan keberhasilan ini juga datang dari Bappenas dalam pertemuan resminya.
Sesi kemudian disambung dengan uraian segar Mas Ulil Abshar tentang konsep manusia bahagia. Simpulannya, manusia bahagia itu sekurangnya memiliki tiga hal : Memahami dan mengamalkan fiqih dasar, menghargai perbedaan, dan responsif terhadap perubahan.
Dilanjutkan dengan uraian Kyai Husein Muhammad, yang mendasarkan kebahagiaan pada pondasi keadilan. “Tidak ada kebahagiaan tanpa keadilan,” kata beliau.
Pertemuan ditutup dengan simpulan Mas Rumadi yang menyatakan bahwa pertemuan ini masih akan berlanjut, karena jaman modern ini semakin terasa sangat dibutuhkan akan konsep riil akan kebahagiaan.
Di sesi tanya jawab, Mas Moqsith menambahi komentar bahwa kebahagiaan dalam bahasa aslinya (sa’adah) sangat abstrak, akan lebih mudah jika digeser kepada makna sakinah (tentram). Saya nimbrung, kebahagiaan akan lebih mudah diupayakan jika diformulasikan sebagai cara pandang terhadap kehidupan.
Usai halaqah, para narasumber dan teman sekamar kembali ke tempat peristirahatan masing-masing. Saya sendiri kemudian berkunjung ke Sigobang, sebuah desa yang berjarak urang lebih 13 KM dari lokasi Munas. Saya Pak Maftuhin bersama putra keduanya Yuthnan. Beliau adalah orang tua santri Fatahillah, M Luayyi ‘Athoillah. Di rumah, kami disambut Ibu Quratun Ainiyah dan putri ketiganya.
Alhamdulillah senang sekali bisa silaturahmi kepada para walisantri. Bagi saya, silaturahmi ke rumah orang tua santri ini membuat ikatan saya dan mereka lebih dekat dan nyedulur, tidak sekadar ikatan administratif sekolah atau Pesantren.
Dua jam lebih ngobrol ngalor ngidul, dengan topik menarik seputar perjalanan spiritual tuan rumah yang sangat inspiratif. Kisah tentang guru yang juga pamannya, Kyai Afshohi, yang semasa hidupnya menjalani pola kehidupan sufistik.
Silaturahmi malam itu diakhiri dengan berziarah ke makam tokoh yang barusan jadi bahan cerita. Makamnya hanya berjarak 100-an meter dari rumah Keluarga Pak Maftuhin. Dan seperti keramahan khas NU, pulangnya saya di-oleh-olehi satu dus jajanan khas setempat.
Kembali ke penginapan hampir jam 11 malam, di teras masih ramai tamu-tamu Munas yang tengah bertamu kepada Mas Ulil dan Mas Rumadi. Saya ikut nimbrung ngobrol sebelum kemudian tertidur di teras rumah sampai subuh. Nikmat sekali seandainya di Jakarta kita bisa tidur di teras terbuka, di pinggir jalan tanpa merasa pengap dan kotor.
Acara-acara NU memang selalu menyediakan ruang-ruang kecil untuk mempererat ikatan batin antar warganya.
Penulis: Ahmad Iftah Sidik, santri Habib Lutfi dan Khodim Pesantren Fatahilah Bekasi.