Pada Senin, 1 Juni 2020, seorang tokoh nasional membuat pernyataan yang jadi polemik. Tokoh nasional itu adalah Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin. Di tengah bangsa Indonesia merayakan Hari Lahir Pancasila itu, Din Syamsuddin menjelaskan sejumlah syarat pemakzulan seorang pemimpin. Berikut Catatan Kritis Prof Machasin Meluruskan Pendapat Din Syamsuddin tentang Pemakzulan.
Dalam pernyataannya, Din mengutip pendapat tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi.
“Pemakzulan itu dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan.” Demikian kata Din Syamsuddin dalam seminar nasional bertema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6/2020) yang dimuat kronologi.id.
Karena pernyataan ini menjadi perdebatan, maka banyak pendapat yang muncul. Salah satu pendapat disampaikan Prof Dr KH Muhammad Machasin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berikut ini pendapat Prof Machasin selengkapnya.
Pemakzulan Presiden
Seorang tokoh di negeri ini baru-baru ini dikabarkan menyebutkan tiga syarat pemakzulan pemimpin yang diambilnya dari al-Mawardi:
Syarat pertama adalah ketiadaan keadilan. Din menuturkan, apabila seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.
“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul,” katanya.
Syarat berikutnya, adalah ketiadaan ilmu pengetahuan; ketiadaan ilmu ini merujuk pada kerendahan visi terutama tentang cita-cita hidup bangsa.
Dalam konteks negara modern, menurut Din, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
“Jika tidak diwujudkan oleh pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul,” ucapnya.
Syarat berikutnya adalah ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis; kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.
“Apabila pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ungkapnya. (cek di kronologi.id)
Lalu kubuka al-Aḥkām al-ṣulṭānīyah, karya al-Māwardī dan kutemukan
وَاَلَّذِي يَتَغَيَّرُ بِهِ حَالُهُ فَيَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْإِمَامَةِ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَرْحٌ فِي عَدَالَتِهِ. وَالثَّانِي: نَقْصٌ فِي بَدَنِهِ.
Artinya: Perubahan keadaan pemimpin yang menyebabkannya tidak layak lagi memimpin ada dua: (1) luka pada keadilannya, (2) kekurangan dalam fisiknya.
Sebelumnya disebutkan bahwa ada sepuluh hal yang menjadi kewajiban khalifah dalam kaitan dengan urusan publik:
1. Menjaga agama,
2. Menerapkan hukum di antara orang-orang yang bertikai,
3. Menjaga keamanan negara (al-baiḍah wal-ḥarīm),
4. Melaksanakan hukuman (al-ḥudūd),
5. Menjaga perbatasan,
6. Memerangi orang yang menentang Islam setelah didakwahi,
7. Menarik royalty dan pajak (al-fai’ wal-ṣadaqāt)
8. Membagi bantuan kepada yang berhak
9. Mengangkat pejabat dan pegawai serta penasehat yang layak dan terpercaya, dan mencukupi gaji mereka sehingga dapat bekerja dengan baik,
10. Melakukan pengawasan dan mengetahui keadaan umat dan tidak mengandalkan orang lain.
Dua hal catatan saya di sini:
Pertama, mengapa al-Mawardi yang menulis bukunya untuk Khilafah Islam diapakai rujukan untuk menimbang kepemimpinan Indonesia yang dbinagun tidak atas dasar satu agama tertentu, melainkan Pancasila?
Kedua, dari mana ketiga hal di atas diambil? Kelihatannya bukan dari kitab al-Mawardi yang ini.
Entahlah.
Demikian Catatan Kritis Prof Machasin Meluruskan Pendapat Din Syamsuddin tentang Pemakzulan
Tulisan Prof Machasin ini disebarkan kepada publik melalui akun facebooknya pada Rabu, 3 Juni 2020. Silahkan pembaca menikmati dan menilai sendiri, semoga bermanfaat. (red/Bangkitmedia.com)