Oleh : Imam Nakha’i, Alumni Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo
Di dalam literatur kitab-kitab kuning, dikenal beberapa jenis busana perempuan, ada jilbab, khimar, burqa, dan niqab. Dua yang pertama disebut dalam al-Qur’an (an-Nur ayat 31 dan al-Ahzab ayat 59) dalam konteks peyempurnaan penggunaannya.
Sedang yang terakhir, Niqab yang biasa diartikan cadar disebut dalam hadist dalam dua konteks. Pertama kisah perempuan bercadar yang bertaya pada nabi tentang keberadaan anaknya.
Melihat itu, sahabat setengah protes: “Bagaimana engkau bertanya kepada Nabi, sedangkan kau sendiri bercadar”?
“Jika aku harus kehilangan anak, tidak mengapa, tapi aku tidak boleh kehilangan kehormatanku,” Perempuan itu menjawab.
Nabi ternyata mendiamkan protes sahabat dan pengenaan cadar.
Kedua, dalam konteks Nabi melarang perempuan yang sedang ihram dan thawaf untuk mengenakan Cadar.
Ulama fiqih sendiri berbeda pendapat. Menurut jumhurul ulama, kecuali Syafi’iyyah, menyatakan bahwa mengenakan cadar tidak wajib. Bahkan Ulama Malikiyah berpendapat, pengenaan cadar bagian dari berlebih-lebihan dalam beragama (al-Guluw).
Bahkan sebagian mereka menyatakan, jika mengenakan niqab justru menimbulkan fitnah, membuat kekacauan, inklusi,dan segregasi sosial, maka seharusnya ditinggalkan.
Sedang Syafi’iyyah sendiri terbelah menjadi tiga pendapat. Ada yang mengatakan wajib, ada yang sunnah, dan bahkan ada yang menyatakan “khilaful aula”, secara bahasa “menyalahi yang lebih utama”.
Syafiiyah yang berpendapat wajib mengenakan niqab, bukan karena wajah adalah aurat, sebagaimana juga pendapat jumhur, melainkan untuk menghindari fitnah saat masyarakat sakit. Jadi nampaknya ulama sepakat bahwa wajah dan telapak tangan perempuan, bukan aurat.
Maka, beberapa lembaga yang melarang niqab, karena niqab justru sebagai simbol aliran tertentu, dan justru menimbulkan keresahan, tidaklah bertentangan dengan syari’ah, sebaliknya, justru didukung jumhur ulama.
Demikian sebaliknya, kelompok yang mewajibkan niqab, juga tidak sepenuhnya bertentangan dengan fiqih, kecuali jika pengenaan niqab justru menimbulkan fitnah.
Wallahu a’lam.