Bukan Ahlinya Tapi Menafsirkan Qur’an dan Sunnah, Jadinya Rusak.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami (lahir di Mahallah Abi al-Haitam, Mesir bagian Barat, Rajab 909 H, wafat di Mekkah Rajab 973 H) adalah seorang ulama di bidang fikih mazhab syafi’i, ahli kalam, dan tashawwuf.
Suatu ketika, Sang Mujtahid Fatwa Madzhab Syafi’i ini pernah di tanya, yang kira-kira bunyinya begini:
“Menurut Njenengan, orang yang tidak bisa ilmu sharaf, perubahan i’rab, nahwu, lughat, ma’ani, dan ilmu bayan (gramatika arabic), apakah tetep boleh “buka praktek” berdakwah dengan mentafsiri al-Qur’an dan Hadis? Jika ia berdakwah dengan mengandalkan otaknya saja, apakah ada hukuman, atau takzir apalah begitu? Apakah ia boleh berdakwah tanpa izin hakim? Kalau penguasa itu tidak memberikan lisensi, tapi dia ngotot, apakah kena hukuman? Kalaupuntoh di hukum, kira-kira yang macam gimana?”
Hehehe, ini namanya pertanyaan rentetan bak bren. Kalau benar-benar ndak mumpuni saya jamin klepek-klepek. Namun, beliau yang mulai kecil hafal Qur’an dan umur duapuluh sudah mengajar dan berfatwa itu, dengan tenang menjawab pertanyaan tersebut satu persatu:
“Baik,” jawab beliau, “Kalau yang ia kutip adalah ayat-ayat dan hadis yang menjelaskan motivasi, ancaman, resiko dan sejenis, lalu menjelaskan dengan apa yang telah di fatwakan para ulama, BOLEH, walau tak faham nahwu, sharaf dan lainnya. Sebab, posisinya cuma sebagai pengutip kalam ulama. Dan saratnya hanya satu, adil! Dan jangan sampai mencampur dengan buah fikirannya sendiri.
Jika nekat memasukkan pemahaman sendiri, padahal tidak kompeten. Maka, wajib bagi para imam muslimin, penguasa, dan yang mampu mencegah, melarangnya! Bahkan membatasi ruang geraknya. Kalau tetep ngueyel, laporkan ke qadhi biar dihukum habis-habisan. Itupun juga berlaku untuk orang-orang bodoh yang suka menyelam dalam permasalan agama ini, padahal ndak mumpuni. Sebab apa?! Semuanya akan berantakan! Rusak! Banyak kejelekan dan keburukan!
Sebab, yang benar-benar mumpuni tentang berdakwah dan ilmunya, mendapat derajat luar biasa, jadi tidak bisa di buat main-main. Dan yang berani bertindak diluar kapasitas, hanyalah orang bodoh yang sembrono tentang agama ini, ia tak takut Allah Ta’ala dan tak khawatir siksa yang lebih dekat dari urat nadi.
Yang mumpuni dalam bidang agama, boleh berdakwah tanpa idzin imam. Tapi kalau urusan mengajar tidak boleh berada di masjid-masjid agung kecuali dengan idzin imam jika kebiasaannya seperti itu.
Namun, jika imam melarang, dan tetep ngeyel. Hukum yang keras! Sebab mengingkari perintah imam selama bukan maksiat, haram! Dan berhak mendapat hukuman berat.
Adapun cara menghukumnya, bebas! Tak ada batasan. Karena berbeda-bedanya penghukum, kemaksiatan yang dilakukan, dan penyebabnya. Karena itu, para ulama berkata: Untuk urusan ini terserah kebijakan Imam. Ketika dengan satu hukuman sudah cukup, tak boleh memberikan hukuman yang lebih berat.
Wallahu Subhanahu Wa Ta’ala A’lam.”
(Penjelasan tentang Bukan Ahlinya Tapi Menafsirkan Qur’an dan Sunnah, Jadinya Rusak ini dikutip dari Fatawa Haditsiyyah Imam Ibnu Hajar al-Haytami 162, dengan gaya bebas).
Menurut pemahaman hamba, yang ingin diingatkan Imam Ibnu Hajar di atas adalah orang yang suka mentafsiri Qur’an Hadis secara lepas, cuma ngikut pada otak dan pemahaman sendiri, padahal dia ndak faham ilmu dasarnya. Ibarat orang yang hanya sekilas tahu kedokteran dari bacaan tapi buka plakat kedokteran di rumahnya. Ajur, Jum!
Ini beda dengan ballighu anni walau aayah; sampaikan dariku walau satu ayat. Sebab maksud dari hadis itu, ya, seperti yang Ramadhan kemarin saya buat status, yakni Dawuh Syaikh Abdullah al-Haddaad dalam Da’watut-Taammahnya hal: 11.
“Setiap orang awam yang mengerti sarat-sarat shalat, harus mengertikan lainnya! Jika tidak, ia termasuk berserikat dalam dosa. Sudah maklum kalau setiap manusia tak dilahirkan mengerti syariat. Kewajiban menyampaikan syariat dibebankan bagi setiap individu yang alim/mengerti, dan setiap orang yang belajar satu masalah –dan faham– maka termasuk ahli ilmu dalam masalah tersebut …”
Jum’ah Mubaarakah, demikian tentang Bukan Ahlinya Tapi Menafsirkan Qur’an dan Sunnah, Jadinya Rusak, semoga kita senantiasa lebih berhati-hati, namun tidak lalai saling mengingatkan dengan sayang.
Penulis: Gus Robert Azmi.