Bolehkah Perempuan Bekerja? Menjawab Anggapan Perempuan Adalah Konco Wingking

Bolehkah Perempuan Bekerja? Menjawab Anggapan Perempuan Adalah Konco Wingking

Bolehkah Perempuan Bekerja? Menjawab Anggapan Perempuan Adalah Konco Wingking

Oleh: Isnaini, S. Pd

Kesetaraan gender merujuk pada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban, namun diskriminasi berdasarkan “perempuan” atau “laki-laki” masih banyak terjadi pada seluruh aspek kehidupan, baik dalam sosial, pendidikan, politik tak terkecuali pada dunia kerja, hal ini menjadi perbincangan-perbincangan yang kontropersi di kalangan masyarakat, yang menjadi sebuah pertanyaan, bolehkah perempuan bekerja?

Jika dilihat menurut pandangan Islam terkait hal ini. Bolehkah perempuan bekerja ? Sebenarnya dalam Islam, tidak ada larangan bagi perempuan bekerja. Karena ada alasan perempuan untuk bekerja salah satunya seperti membantu suami untuk menopang perekonomian keluarga. Dalam Islam juga menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk memenuhi segala keperluan istri dan keluarganya, menyelesaikan segala kepentingan yang ada di luar rumah.

“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).

Jika bekerja untuk mencari nafkah merupakan kewajiban seorang suami, namun tidak ada larangan jika perempuan ingin bekerja. Perempuan harus memenuhi beberapa syarat dan tidak melanggar syariat-syariat Islam. Islam tidak melarang wanita bekerja telah tercantum dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 105 yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu” (QS. At-Taubah:105)

Meskipun dalam Islam perempuan tidak ada larangan dalam bekerja, namun hal tersebut masih selalu diperbincangkan masyarakat, baik dalam meniti sebuah karir perempuan harus menghadapi polemik, salah satunya adalah perempuan harus memilih untuk meneruskan kiprahnya dalam dunia kerja atau mengurus keluarga dengan baik dan menjadi ibu rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor budaya yang mengatakan bahwa pekerjaan seorang perempuan (terutama di pedesaan) hanyalah berputar pada mengurus rumah tangga, tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi. Padahal secara de jure, tidak ada diskriminasi gender dalam pendidikan karena setiap warga negara berhak atas pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi ketika perempuan telah menempuh jenjang pendidikan yang tinggi tetap dinilai lebih baik kalau berkonsentrasi pada keluarga atau kerja yang bersifat domestik dibandingkan memanfaatkan keahlian dari hasil pendidikan tingginya. Ini sudah menjadi stigma masyarakat, yang merupakan ketidaksetaraan gender.

Menurut Bappenas, salah satu cara untuk mencapai kesetaraan gender adalah dengan meningkatkan peran dan kualitas hidup perempuan dalam pembangunan. Dari aspek tersebut, Bappenas menetapkansasaran pengukuran Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) dalam mengevaluasi kesetaraan dan keadilan gender yaitu, pencapaian pendidikan, partisipasi ekonomi dan keterwakilan dalam jabatan publik.

Hidup di dunia modern dengan berbagai persinggungaan tradisi, situasi, informasi telah membuat perempuan mengalami dillema of the self. Menurut Indriyani (2009) menyatakan perempuan mempunyai dua peran yaitu tradisi dan transisi. Tradisi menyangkut peran perempuan dalam mengurus rumah tangga, sebagai istri, ibu, dan pengelola rumah tangga. Sedangkan transisi perempuan sebagai tenaga kerja aktif dalam mencari nafkah sesuai dengan pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki.

Perempuan juga berhak diberikan ruang dan waktu untuk berkiprah atau berkarir guna mencapai cita-citanya sama seperti laki-laki yang berhak mencapai keinginannya tanpa harus memilih keluarga atau karir dan memikirkan sudut pandang masyarakat sekitar. Namun, pengaruh budaya memegang peranpenting terhadap pandangan tentang peremuan karir. Contohnya dalam budaya Jawa, ada pepatah yang mengatakan bahwa prempuan hanya miliki tugas 3M. Pepatah tersebut lambat laun membentuk opini bahwa tugas seorang perempuan hanyalah berdandan, melahirkan dan mengurus anak, serta memasak. Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam budaya Jawa berada dalam posisi di bawah laki-laki, karena dalam Budaya Jawa peran laki-laki dikonsepkan pekerja publik (luar rumah), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja domestik (di dalam rumah tangga).

Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (teman belakang) yaitu seorang istri. Hal teresbut menunjukkan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan di belakang (di dapur). Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuantelah ditancapkan dengan tugas-tugas domestik, meliputi sumur, dapur dan kasur. Sambil menanti jodoh, gadis Jawa biasanya diajari berdandan, memasak dan kegiatan yang berhubungan dengan melayani suami. Kemudian ada masa gadis Jawa di mana dituntut untuk persiapan berumahtangga, biasanya mereka yang sudah dirasa cukup umur untuk itu kemudian di ”pingit”, yaitu larangan untuk keluar rumah. Budaya ini pula yang menghambat pendidikan perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini R.A. Kartini, seorang pelopor emansipasi perempuan Indonesia, menyatakan bahwa faktor utama yang mendorong perjuangan R.A. Kartini yaitu lingkungan Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami konsep unggah-ungguh (sopan santun). Perempuan harus bisa menjadi lakon yang baik dan menuruti semua perintah dari orang tuanya. Menurut Nadifah Sayyidah( 2013). Budaya patriarkis inilah yang kemudian hidup dan berperan besar untuk terus menyudutkan perempuan dengan peran gendernya. Selain mengenai sopan santun, anggapan bahwa anak perempuan kurang layak untuk mendapatkan hak pendidikan tinggi juga masih kental dalam masyarakat Jawa. Mayoritas masyarakat mengatakan, “anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke dapur juga”

Menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki dan menganggapnya tidak berhak untuk berkecimpung dalam dunia publik merupakan salah satu bentuk kungkungan terhadap perempuan. Pelabelan perempuan yang bekerja diluar rumah juga mendapat stereotype yang negatif, sehingga terjadinya diskriminasi serta ketidakadilan yang merugikan. Salah satu contoh yang biasa terjadi apabila laki-laki marah di anggap hal yang wajar dan sebagai laki-laki yang tegas. Namun di saat perempuan marah di anggap sebagai individu yang emosional dan tidak dapat menahan diri. Meninjau asumsi-asumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidaksetaraan gender berasal dari budaya, khususnya di masyarakat yang patriarki. Dengan demikian, upaya merekonstruksi pola pikir maupun sudut pandang terhadap isu gender harus dilakukan, salah satunya melalui jalur pendidikan

Akan tetapi sekarang perempuan Jawa banyak yang sudah tercerahkan oleh gagasan emansipasi wanita yang diperjuangkan RA.Kartini. Saat ini, perempuan sudah mulai berkiprah dalam dunia kerja. Oleh sebab itu, perempuan adalah tetap konco wingking, hanya saja fungsi, makna, dan tafsirnya diperluas. Konco wingking bukan berarti seorang istri dari seorang suami yang tugasnya hanya di belakang saja. Tetapi seorang istri adalah sahabat suami yang harus bisa bersama-sama di belakang, bersama-sama mendidik dan membesarkan anak, bersama-sama pula saling memperkuat dan memberikan dukungan. Seorang istri pada zaman teknologi dan kemajuan seperti sekarang ini juga harus menjadi pendorong semangat suami dalam meniti karir, perempuan juga dan pendamping suami dimanapun suami berada dan bertugas. ***

Penulis : Isnaini, S.Pd. Mahasiswi Pascasarjana, Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *