Tersapihkan dari al-Qur’an
Minyak dan air mustahil bertemu. Baik dan buruk juha begitu. Etik dan dzalim pula demikian.
Al-Qur’an sebagai kitab suci keluhungan yang dinyatakan oleh Allah Swt sejak di awal mushaf dalam al-Baqarah ayat 2 bahwa ia adalah kitab yang tiada (tak boleh ada) keraguan sedikit pun di dalamnya sebagai pentunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakwa (muttaqin), dengan otomatis menjadi tidak berlaku, tiada guna, bagi mereka yang tidak muttaqin.
Niscaya begitupun kondisi al-Qur’an sebagai “buku fisik” akan diperlakukan oleh kita dalam keseharian kita. Yang muttaqin akan selalu memuliakannya dan yang tidak muttaqin takkan melakukannya –toh baginya ia semata tiada guna.
Cara memuliakan al-Qur’an secara lahiriah, nyata, ialah mengajinya, membacanya, berikutnya menghafalnya, dan memahaminya, kemudian mengamalkannya, menjadikannya petunjuk hidup. Hierarki memperlakukan al-Qur’an ini rasanya sulit untuk dibolak-balik, apalagi tak diarungi. Sesulit kita mengatakan “saya mencintai dan memuliakan al-Qur’an dalam hidup saya namun saya memang langka atau tak pernah mengajinya….”
Sampai di sini, al-Qur’an yang adiluhung nampak secara alamiah memisahkan dirinya dari mereka yang tidak mencintainya, tidak memuliakannya, cum bukan muttaqin. Al-Qur’an nampak tak sudi dijamah oleh tangan-tangan yang hatinya bukan tergolong muttaqin. Walhasil, logis sekali bila tatkala hati kita bebal, kelam, dan perilaku kita sedang lekat dengan kemaksiatan dan kadzaliman, kita sulit sekali untuk menyentuh al-Qur’an, mengajinya. Apalagi mengarungi fase-fase seterusnya….
Al-Qur’an dan kita yang demikian tersapihkan dengan sendirnya. Semakin lama tersapihkan, itu tanda semakin jengkang jarak kita dengannya.
Dalam ilustrasi lahiriah, seyogianya ini menjadi pengingat rohani bagi kita, bila kita seharian semalam ini sama sekali tak membaca al-Qur’an, dalam masa itu kita niscaya kebak dengan ketidakluhungan yang menyebabkan al-Qur’an tersapihkan, menjauh, dari kita. Ini perlambang bahwa hari ini Allah Swt memisahkan kita dengan kalamNya.
Bila itu terjadi seminggu, ya sepanjang itu pulalah jeda yang menjarakkan kita dengan kekudusan al-Qur’an. Bila sebulan, setahun, dan seterusnya, begitulah kondisi jarak sapihan kita.
Ini semata ilustrasi logis betapa memang keluhungan dan kedinaan tak pernah sepelaminan; keimanan dan kemungkaran tak pernah sepembaringan; ketakwaan dan kedzaliman tak pernah sekumpulan. Persis narasi awal yang kerap kita tuturkan dalam realitas hidup profan keseharian.
Coba cek al-Isra’ 45: “Dan jika kamu membaca al-Qur’an, Kami jadikan antara kamu dan orang-orang yang tak beriman kepada Allah Swt dan hari akhir hijab (pemisah) yang membentengi (menutupi, memisahkan)” dan Waqi’ah: “Takkan menyentuh al-Qur’an kecuali orang-orang yang dibersihkanNya (disucikanNya, dimuliakanNya).”
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: KH Dr Edi Mulyono, wakil ketua LTN PWNU DIY.