Bersama Syekh Prof Ibrahim Mesir: Menuju Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo (01)

Prof. Ibrahim Shalah Al-Hudhud adalah cicit Syaikh Muhammad bin Manshur Al-Hudhudi (penganggit Syarah Ummil Barahin yang dikenal sebagai As-Sanusiyah As-Sughra), Guru Besar Paramasastra dan Kritik Sastra Arab sekaligus mantan Rektor Universitas Al-Azhar saat ini sedang berkunjung ke Indonesia.

Agenda utamanya adalah menghadiri undangan PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo dan Asosiasi Ma’had Aly Indonesia. Selama di Sukorejo beliau sempat memukau para hadirin dengan kuliah dan dialog ilmiyahnya yang dipenuhi dengan analisis linguistik terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah dengan pendekatan yang mencerahkan; sembari tetap istiqamah di alur orthodoksi Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Seorang Kyai yang hadir sampai berkomentar: “Ini menakjubkan sekali, dengan mengikuti alur pemikiran dan gaya analisis beliau, kita tetap bisa progresif dan menggugah adrenalin pemikiran tanpa harus menjadi syiah atau liberal.”

Kita juga bisa melawan trend salafisme dengan menunjukkan bagaimana seharusnya berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bagaimana tidak, dalam tiga kesempatan studium general dan dialog tersebut beliau mengangkat beberapa tema-tema yang krusial seperti relasi antara tradisi dan modernitas, transmisi keilmuan dan metodologi interpretasi Al-Qur’an, bersikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan, di samping kajian teologis terhadap teks-teks suci (Al-Qur’an dan Sunnah) dan relasi gender dalam Islam.

Di sini, seorang Kyai lain berkomentar: “Bahasa beliau jelas dan bernas, argumentasinya runtut, hafalan teksnya kuat, dan pemikirannya sangat kekinian!”

Saya sendiri sudah bersentuhan dengan pemikiran beliau sejak beliau masih menjabat sebagai dekan Fak. Bahasa Arab Universitas Al-Qur’an (tahun 2012). Melihat gaya pemikiran beliau yang menarik, waktu itu kami bersama teman-teman di SAS Center Mesir berinisitif mengundang beliau untuk membahas tentang pemikiran Teologis seorang Grand Master Sufi: Muhyiddin Ibn Arabi dalam salah satu magnum opusnya yang kontroversial: “Tarjuman al-Asywaaq”. Itulah salah satu aktivitas yang penuh berkah karena beliau tahu bagaimana membuat kami belajar dan berpikir sebagai seorang Azhari; dan bangga sebagai seorang Azhari yang bukan hanya menjadi generasi pemamah biak terhadap apa yang diterima dari sang guru. Belajar memancing ikan sendiri, bukan hanya meminta suapan umpan!

Selain menyempatkan hadir di kuliah beliau yang diadakan di Masjid Al-Azhar, kami juga sempat menghadiri orasi dan diskusi beliau di pertemuan Ikatan Alumni Mesir dan Timur Tengah yang berlangsung di Lombok beberapa waktu yang lalu.

Di sana beliau memperlihatkan jarak yang sangat jauh antara jenjang seorang ulama sejati dan jenjang para dai/ muballigh yang seringkali menyodorkan slogan-slogan karbitan tanpa isi yang matang.

5 Juli 2019

Penulis: Muhammad Aunul Abied Shah, Mustasyar PCI NU Mesir dan murid langsung Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *