Bersama Gus Rijal, Ini Tanya Jawab Soal Ke-NU-an di Era Milenial

gus rijal dan gus ofa

A: Cak Rijal, ini kan seminar ke-NU-an. Seharusnya menghadirkan dua narasumber yang berbeda. Ini dua narasumber dari NU semua. Kan nggak fair?

B: Lha kok tanya ke saya. Ya tanya ke panitia dong. Khakhakha. Jadi begini, seminar atau halaqoh atau apapun namanya itu ada dua jenis: polemis-problematik dan dogmatik-indoktrinasi. Kalau jenis pertama itu seminar yang membahas sebuah masalah dan lebih baik kalau ada dua atau tiga narasumber yang punya perspektif berbeda lalu dipanel bersama. Hasilnya bisa ada sebuah kesepakatan atau kesimpulan yang sama. Bisa pula berbeda.

Kalau jenis yang kedua sifatnya doktrinasi, dogmatik, dan searah. Tidak butuh narasumber yang perspektifnya berbeda. Pemateri cukup menyampaikan topik yang sama dengan sudut pandang beragam, bukan seragam. Misalnya tema ke-NU-an. Pemateri pertama menyampaikan tema amaliah-ilmiah nahdliyyah. Pemateri selanjutnya menyampaikan wawasan ke-NU-an dari sudut pandang sosial-politik-historis. Tujuannya, semua hadirin paham dua sudut pandang ini. Indoktrinasi halus, gitu loh. Khakhakhakha.

A: Kang Rijal. Dari tadi kok mbagus-mbagusin NU. Seolah olah NU paling oke. Apakah tidak ada celah keburukan NU?

B: ibaratnya, saya ini sales. Marketing. Jualan produk. Ya pasti mbagus-mbagusin produk. Promosi gaes. Goblok kalau saya malah jelek-jelekin produk saya di hadapan njenengan semua. Soal kelemahan, jelas ada. Pernah melihat sales Toyota ngomongin kelemahan Fortuner, Innova dan Avanza di dalam ajang pameran? Pernah melihat duta syampo ngomongin kejelekan produknya atas nama “evaluasi produk” dalam seminar yang dihadiri pemilik salon kecantikan? Jelas nggak. Karena itu dalam medsos, misalnya, terlampau goblok kalau saya mengkritik secara terbuka dan brutal organisasi yang saya cintai. Sebab, cara kayak begini bakal digoreng, dijadikan amunisi dan bahan baku meruntuhkan kepercayaan diri anggota organisasi ini. Tahu sendiri kan? Kalau mau evaluasi, otokritik dan merumuskan kebijakan, momentumnya ada. Dalam musyawarah tahunan atau rapat periodik. Sebab, ini organisasi, bukan paguyuban.

Orang NU itu seringkali memandang minus dinamika organisasinya, lantas memuji-muji perkembangan ormas lain. Padahal organisasi lain juga punya masalah masing-masing. Benar kata pepatah Jawa, urip iku sawang sinawang. Hidup itu tergantung cara pandang. Orang bertipe begini biasanya nggak pernah susah-payah urun andil dalam organisasi NU. Bisanya hanya mengkritik. Dia bahkan tidak mau membaca (dan berlangganan) Majalah AULA, menengok web nu.online dan menikmati sajian TV9 (senggol Cak Sururi Arumbani). Mengapa beberapa media ini saya sebut? Sebab, ketiganya bisa menjadi corong informasi yang berharga bagi nahdliyyin. Khususnya pada perkembangan organisasi dan pencapaian banomnya. Bagaimana perkembangan pengkaderan di luar Jawa, kader inspiratifnya, tingkat pertumbuhan ekonomi kelembagaannya, pencapaian dan keberhasilan pembinaan keilmuan, dan seterusnya. Karena nggak pernah nengok media ini, di tempurung kepalanya ya isinya hanya kelemahan NU. Dan, ironisnya berita beginian dia terima via WA dengan penulis anonim dan validitas informasi yang diragukan. Tolol banget, kan?

A: Bagaimana Cak Rijal menilai kepemimpinan PBNU sekarang?
B: Setiap kepemimpinan, dalam organisasi apapun, selalu diibandingkan dengan kepengurusan masa lalu. Misal, dalam pengorganisasian Manchester United. Siapapun manajernya, pasti dibandingkan dengan era keemasan Alex Ferguson. Di NU, juga sama. Siapapun pemimpinnya, pasti dia dibandingkan dengan era keemasan generasi Assabiqunal Awwalun, lantas menganggap kepemimpinan sekarang tidak bermutu. Ini manusiawi. Di ormas lain juga sama. Setiap periode pasti ada plus minus. Mereka juga menghadapi era, tantangan, dan dinamika yang berbeda. Saya sih santai, yang penting bisa khidmah di NU, ya jalani saja. Lha wong, para penggerak NU yang benar-benar berkhidmah saja nggak pernah rewel walau tekor dan berkorban, kok kita ini rewel banget. Merasa berkorban banyak lantas mengasihani diri sendiri.

Khidmah di NU tidak harus menjadi pengurus gaes. Menjadi guru ngaji yang melanjutkan jejak keilmuan para masyayikh NU juga termasuk khidmah ilmiyyah. Itu contoh sederhana. Contoh lain, kita bisa menerapkan prinsip NU yang bernama At-Tawazun dalam keseharian. Kita menerapkan ajaran tawazun (seimbang, objektif) dalam bermedsos: membaca informasi dengan cermat, menimbang maslahat dan mafsadat, mikir sebelum share, dan tidak membuat hoax, itu sudah termasuk penerapan prinsip dasar Aswaja ini dalam bermedsos. Jadi, penerapan prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari itu mudah.

Dalam konteks lain, soal amar makruf nahi munkar, misalnya. Jangan pernah mengatakan kita pejuang nahi munkar jika kita tidak bisa memberantas hoax di grup WA keluarga maupun grup WA himpunan alumni. Khakhakhakha.

Nahi munkar, saya percaya, bisa dimulai dari menjaga kewarasan nalar di tengah tsunami informasi. Dan, kewarasan bisa dicapai melalui jalan At-Tawassuth: tengah-tengah; tidak ekstrem kiri-ekstrem kanan; tidak reaksioner, tidak pula lambat bersikap; tidak kaku berprinsip, tidak pula lembek bertindak; sedang-sedang saja. Ibarat makanan, takarannya pas.

Wallahu A’lam Bisshawab

Penulis: Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Jember.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *