Laju perkembangan teknologi menjadi pertaruhan bagi masa depan bangsa. Kalau teknologi hanya digunakan sebatas konsumtif saja, maka generasi muda menjadi pertaruhannya. Untuk itu, kaum santri harus cerdas dan peka dalam memanfaatkan teknologi. Santri yang berjuang di teknologi harus diberikan ruang strategis, karena itulah jihad saat ini. Mereka menjadikan teknologi sebagai alat belajar dan media strategis dalam memperkokoh nilai-nilai kebangsaan kita.
Demikian ditegaskan Cuk Subiyantoro, M. Kom., dari STIMIK Akakom Yogyakarta di ruang kerjanya kepada Bangkit.
Pak Cuk, panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa NU itu ormas yang paling terdepan kalau bicara soal kebangsaan. Soal Pancasila dan NKRI, itu sudah selesai di NU. Sudah final. Sayangnya, dulu pemerintahan memberikan banyak kelonggaran terhadap ormas. Akhirnya, saat ini banyak ormas yang justru mempermasalahkan Pancasila, NKRI, hormat bendera, dan lainnya. Apalagi mereka juga sangat mudah bicara bid’ah dan lainnya.
“Banyak ormas yang bajunya Islam, tetapi mereka justru melukai dan menodai Islam. Munculnya radikalisme dan terorisme itu memang dibawa pihak tertentu dengan kecanggihan yang luar biasa. Mereka memanfaatkan teknologi. Mereka hanya mencari untung dengan baju Islam,” tegas Pak Cuk yang keturunan asli Madura.
“Saya mengapresiasi Presiden Jokowi yang mulai sadar dengan ormas kaum radikal. Walaupun belum sempurna, tapi langkah-langkah cerdas Presiden Jokowi sangat penting untuk menghadang radikalisme. Sangat tepat juga, karena yang digandeng adalah santri dan NU. Memang sejak masa silam, yang selalu setia membela NKRI ini ya santri, ya NU. Itu sudah sangat jelas. Gus Dur adalah contoh sangat nyata, karena semasa menjadi presiden sangat tegas terhadap kaum radikal. Gus Dur itu seutuhnya hidupnya diberikan untuk bangsa dan negara ini. Indonesia harus berterima kasih kepada Gus Dur,” lanjutnya.
Kemudian, terkait laju perkembangan teknologi informasi, Pak Cuk mengharapkan para santri muda jangan sampai terjebak. Santri harus bisa memfilter. Kalau menghindari teknologi tidak mungkin, karena itu sudah merasuk dalam keseharian. Yang bisa dilakukan adalah filter dan mengarahkan santri untuk menggunakan teknologi dalam membangun hal-hal positif.
“Sebenarnya sangat mudah dalam memfilter teknologi. Makanya, kita harus berterima kasih kepada para kiai. Para kiai itu sangat ikhlas dalam mengaji. Mereka itu tak bisa digantikan dengan teknologi. Kita ini jangan sampai gampang membaca kitab suci, atau kitab pesantren, hanya dengan teknologi. Sangat bahaya dan menjadikan sakralitas kitab suci menjadi turun. Kalau baca al-Quran ya baca dengan kitabnya, tidak cukup hanya dengan smartphone. Sangat berbeda. Saya ini mengatakan itu karena bidang saya teknologi. Saya tidak asal mengatakan terkait itu. Kalau ngaji tentang agama, ya sama guru, sama kiai. Kalau belajar fatihah, ya sama guru, saya kiai. Jangan sama teknologi, bisa sesat dan menyesatkan,” tegasnya.
“Saya sangat berharap lahir anak-anak muda santri yang berjuang dan berjihad di ranah teknologi. Mereka akan menjadi ujung tombak NU dalam menjawab tantangan peradaban. Mereka harus diberikan ruang strategis, sehingga mampu berkiprah dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan yang sinergis dengan nilai-nilai agama,” pungkasnya. (md).
*Tulisan ini pernah dimuat Majalah Bangkit edisi November 2017.