Oleh M Abdullah Badri
Saya menyebut kecolongan, karena awalnya, UAS yang batal ceramah di Al-Achsaniyah -tanpa ada pihak yang membatalkan,- tetap saja dia jalan-jalan ke Madrasah Al-Ma’ruf dan sowan Rais Syuriah NU Kudus serta KH. Ulin Nuha Arwani.
Boom. Peringatan saya ke kawan-kawan di Kudus terbukti. UAS menang telak. Pihak panitia membatalkan sendiri acara tabligh akbar UAS tapi di media, utamanya TVOne, UAS diberitakan “ditolak”. Padahal, tidak ada yang menolaknya hadir. Sekali lagi, panitia yang membatalkannya sendiri.
UAS yang adem ayem datang ke Kudus, tetap saja dipanasi oleh orang-orang yang menganggapnya sebagai pemersatu. Meskipun tidak ada yang menolak, tetap disebut media online “ditolak”. Dan anehnya, GP. Ansor dianggap Netizen sebagai biangkerok. Ini yang kebakaran jenggot siapa?
Foto guru saya yang “disowani” UAS juga viral dan dijadikan alat adudomba. Ada kawan saya seangkatan di madrasah TBS Kudus menggunakan foto tersebut untuk memuji sekaligus menghujat. Foto yang harusnya bisa dimaknai positif, di tangan dia, jadi fitnah. Dia ingin ngeplaki (mukul) orang, dari foto tersebut. Cek saja sendiri. Barangkali sudah dihapus.
Itulah yang saya sebut sebagai politik selfie, yakni foto mejeng bareng tokoh untuk tujuan viralnya pengaruh ideologis. Fotonya tidak salah. Orang-orang yang ada dalam foto juga tidak salah. Tapi begitu ketemu momentum, bukan tidak mungkin diberi caption menyesatkan, dan hal itu sangat merugikan orang-orang yang ada foto. Politik selfie sangat mengkhawatirkan.
Lihatlah Gus Miftah, alias Miftahin Ni’am, yang beberapa bulan lalu saat dijenguk Felix (tokoh HTI), kini diviralkan lagi dengan caption foto yang menyesatkan hingga merasa perlu mengklarifikasinya, menjelasakannya kepada publik.
Fotonya tidak salah, tapi begitu menemukan momentum, Gus Miftah akhirnya dikesankan sebagai pendukung HTI. Dan memang benar, sejauh pengamatan saya, sejak “disowani” Felix, ustadz Jogja yang dekat dengan Hanafi Rais itu sudah mulai melunak bicara khilafah, sebagaimana admin Generasi Muda NU (pusat) dan mantan admin utama Harakatuna.
Dengan selfie, orang-orang di dalam foto otomatis jadi mayit. Publik berhak menafsirkan. Orang di dalam foto, hanya ikut narasi, mati gaya. Itulah yang dilakukan HTI dengan strategi thalabun nushroh-nya. Selfie, dalam politik pakaian (Bung Karno sangat paham soal ini), adalah bagian thalabun nusroh. Kalau tidak paham soal ini, bacalah buku Dr. Ainur Rofiq. Banyak penejelasannya. Cari sendiri.
Jauh-jauh hari, saya sendiri sudah memperingatkan agar kawan-kawan yang peduli NU dan kebangsaan, tentang politik selfie yang bakal UAS lakukan. Panitia jelas tidak mau merugi. Meski batal ceramah, UAS harus bisa “dikapitalkan”, digunakan, walaupun hanya sowan sana-sowan sini, kunjung sana-kunjung sini.
Bila sudah digoreng media, publik akan ikut arus begini: “Kiai NU di Kudus saja tidak menolak UAS, lha kamu begundal jaran saja sok-sokan menolak. Pangkatmu apa?”. Kelar deh. Siapa yang untung? Pikir sendiri saja.
Dari sini, saya jadi paham mengapa Ketum PBNU KH. Said Aqil Siraj tidak mudah berforo ria dan selfie ria dengan sembarang orang. Foto dengan Abu Janda saja langsung digoreng, apalagi dengan Felix atau UAS.
Gus Baha’ pernah membuat Felix kecelik. Ikut ngaji di Jogja, ia tidak berhasil foto dengan Gus Baha’. Tapi tetap bisa menggoreng. Dengan apa? Pakai peci berlogo NU bersama santri yang ngaji bareng Gus Baha’. Felix lah yang untung disebut NU. Gus Baha’ dan santrinya?
Mau apa kalau selfie nya UAS di Kudus viral dan digoreng begini?
Diam tidak selamanya pilihan. Menghadapi bigot tidak cuma pandai berlugot. Tapi santri Kudus punya pilihan sendiri. Kapan-kapan bila ada yang menggoreng, misalnya, “UAS dibaiat thariqah lagi di Kudus”, ya wallhu a’lam. Aku ra melu-melu. Turu wae. Lha UAS sudah menang telak. Panitianya berhasil publikasi. Ape lapo? []
M. Abdullah Badri, penulis buku Meneguhkan Jepara Bumi Aswaja