Apakah Semua Kitab harus digurukan?
Seringkali kita mendengar sebuah adagium yang sudah masyhur dan terkenal bahwa:
من لا شيخ فالشيطان شيخه
“Siapa saja yang tidak memiliki guru, maka Syaitanlah yang menjadi gurunya”
Dalam kesempatan lain, kita juga mendengar sebuah ungkapan hampir senada yang berbunyi:
من كان شيخه كتابه كان خطأه أكثر من صوابه
“Siapa saja yang menjadikan kitab (buku) sebagai gurunya, maka dia akan lebih banyak salah dari pada benarnya”
Berangkat dari dua Maqâlah di atas, ada sebagian temen yang kemudian tidak berani untuk membaca dan mengkaji kitab yang belum pernah ia ngajikan kepada seorang guru. Bahkan dalam beberapa kesempatan, saya bertemu dengan orang-orang yang tidak mau dan tidak percaya dengan orang yang menuturkan sebuah pendapat yang ada dari kitab, sementara orang tersebut juga belum pernah ngaji kitab itu.
Lalu apakah memang benar kita tidak boleh untuk melakukan kajian dan analisa Ilmiah dengan membaca berbagai macam kitab? Hanya karena kita belum pernah me-ngaji-kan kitab tersebut pada seorang guru?
Bekenaan dengan hal ini, Syaikh Dr. Said Abdullatif Faudah pernah dituduh sebagai seorang “Shakhafi”, bukan sebab tidak punya guru, akan tetapi karena sedikitnya guru yang beliau miliki. Terma “Shahafi” dalam ilmu Hadits adalah menunjuk kepada seseorang yang mengambil Hadits dari kitab, bukan dari seorang guru. Ada terma lain yang disebut dengan “Mushafi”, yakni orang yang mengaji al-Qur’an dari Mushaf, tidak melalui guru.
Kembali pada kisah Syaikh Said Foudah di atas, beliau menanggapi sebuah tuduhan yang berbau penghinaan ini dengan mengajukan beberapa argumentasi yang menurut saya menarik.
Pertama; beliau mengajak orang yang mencela itu untuk berfikir tentang apa tujuan sebuah kitab itu ditulis? Menurut beliau, kitab ditulis tidak lain adalah untuk diambil manfaatnya dengan dibaca. Andaikan para Ulama itu tidak memperbolehkan orang-orang yang sudah mampu untuk membaca kitab sendiri, niscaya mereka tidak akan pernah menulis kitab. Dan tentunya mereka mencukupkan transmisi ilmu cukup dengan Syafahi alias dari mulut ke mulut saja. Tetapi kenyataan berkata lain, dan kitab banyak di tulis.
Kedua; al-Qur’an sendiri adalah kitab yang harus dibaca. Bahkan ayat pertama yang turun dalam al-Qur’an adalah tentang perintah membaca, yang berupa (اقرأ). Tentunya akan sangat aneh jikalau ayat pertama adalah tentang perintah membaca, tetapi membaca kitab dan buku malah dilarang.
Ketiga; Syaikh Said Faudah juga meyakini bahwa seseorang yang sedang memulai belajar, sangatlah harus belajar kepada seorang masyayikh (para guru) dasar-dasar pokok ilmu. Baik tentang Akidah, Fiqh, Hadits, Tasawuf dan lain sebagainya. Akan tetapi setelah itu, hendaknya mereka juga memulai untuk meningkatkan kadar intelektual mereka dengan membaca sendiri kitab-kitab yang ada. Dan sesekali bertemu dengan Ulama dan para Masyayikh untuk mendiskusikan masalah-masalah ilmiah tersebut dengan mereka. Model seperti ini insya Allah lebih bermanfaat dari sekedar mengaji di depan guru saja, tanpa ada kajian mendalam selanjutnya.
Saya mengibaratkan seperti anak kecil yang pada mulanya memang harus di ‘tetah’ (tuntun) saat mulai pertama kali berjalan. Akan tetapi bukan berarti si anak ini harus dituntun terus menerus sampai saat dewasa pun masih dituntun. Sebab jikalau hal itu dilakukan, yang ada malah menjadikan anak itu menjadi lemah, tidak kreatif dan tidak berkembang.
Begitu juga orang yang belajar ilmu. Pada mulanya, ia harus dituntun oleh seorang guru. Belajar beberapa kaidah dasar ilmu sebagai pengantar dirinya untuk menapaki lika-liku jalan ilmiah selanjutnya. Oleh karenanya, guru yang baik tidak akan melarang anak didiknya untuk berkembang dengan membaca berbagai macam kitab. Bahkan ia malah senang dan bahagia saat mengetahui santrinya ini berkembang secara ilmiah dengan berbagai refrensi yang bermacam-macam.
Keempat; ada banyak masyayikh dan Ulama itu merasa bangga saat mereka menyelesaikan bacaan satu kitab tertentu. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk memamerkan keberhasilan mereka tersebut. Tapi coba pikir, apakah berarti semua kitab yang mereka baca tersebut sudah mereka gurukan dan ngajikan kepada guru sebelumnya? Kata Syaikh Said, tidak. Tidak semua yang mereka baca itu sudah mereka gurukan pada guru sebelumnya.
Bahkan Syaikh Said mengatakan bahwa faidah yang dihasilkan oleh para Masyayikh tersebut kadang lebih banyak dari membaca kitab, dari pada ngaji duduk di depan guru. Walaupun tentunya duduk di depan guru juga sangat bermanfaat.
Kelima; Syaikh Said juga menuturkan bahwa membaca berbagai macam kitab itu memang ada beberapa Syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelajar benar-benar menghasilkan ilmu yang manfaat dan benar.
Apa syaratnya? Syaikh Said menyarankan untuk membaca kitab Qawâid Tasawwuf karya Syaikh Zarruq. Kata beliau, kitab tersebut telah membahas masalah di atas tersebut dan Syarat-Syarat membaca kitab sendiri dengan detil.
Penulis: Gus Dhiya Muhammad, santri Mbah Maimoen.