Sri Langka merupakan negara yang beragam. Namun fanatisme kelompok mayoritas membuatnya menodai keharmonisan antar manusia.
Keragaman Sri Lanka sebenarnya cukup semarak. Keragaman ini meliputi kekayaan suku dan agama. Sayangnya, keragaman tersebut secara tragis terpecah oleh konflik yang sedang berlangsung antara mayoritas Buddha Sinhala yang dominan, dengan minoritas Muslim yang terpinggirkan.
Hal tersebut dibahasa dalam penelitian berjudul Misconceptions in the Sinhala Buddhist-Muslim Conflict in Sri Lanka: A New Perspective on Ethnic Conflict in Post-Colonial Era. Penelitian karya Mahroof, Sithy Rifa, dan Ahamed Sarjoon Razick tersebut rilis pada 14 Desember 2024. Kita bisa mengaksesnya di jurnal ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 24 Nomor 2.
Dalam penelitian tersebut, terdapat penelusuran asal-usul konflik antara mayoritas Buddha Sinhala yang dominan di Sri Lanka dan minoritas Muslim yang terpinggirkan. Konflik mengakibatkan kembalinya sistem masyarakat ke warisan colonial, yang memaksakan struktur masyarakat yang dikotomis.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan kerangka Diri dan Yang Lain, penelitian ini menggunakan model gunung es untuk menyelidiki lebih dalam penyebab konflik yang mendasarinya. “Penelitian ini mengungkapkan bahwa konflik antara umat Buddha Sinhala dan komunitas Muslim muncul dari rasa identitas diri yang ambigu, yang didefinisikan dengan kontras dengan Yang Lain,” tulis dalam laporan.
Umat Buddha Sinhala menganggap komunitas Muslim yang berkembang sebagai ancaman terhadap budaya dan agama asli, sebagaimana tercermin dalam budaya Sinhala. Persepsi ini dibentuk oleh model mental yang dibangun sejak masa kolonial, saat klasifikasi etnis dan agama ditanamkan oleh penjajah sebagai dasar hak politik.
Klasifikasi yang dihasilkan menumbuhkan rasa nasionalisme di antara umat Buddha Sinhala, yang memicu perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. “Akan tetapi, klasifikasi ini juga melanggengkan pola penindasan terhadap kelompok minoritas, memandang mereka melalui sudut pandang yang sama seperti penjajah memandang penduduk asli, sehingga melanggengkan siklus konflik dan marginalisasi,” tulisnya.
–
Penulis: Antariksa Bumiswara