Bedah Buku Fiqh Disabilitas: Cara Pandang Kita Harus Dibarengi Pemahaman Solusi

bedah buku fiqh disabilitas

MUNAS-KONBES, KOTA BANJAR

“Ketika ada yang bertanya tentang bagaimana wudlu nya teman-teman yang tidak memiliki tangan atau kaki, padahal rukun wudlu itu ya ada membasuh tangan dan kaki? Bagaimana pula hukumnya mendengarkan khutbah bagi penyandang disabilitas rungu, padahal mendengarkan khutbah salah satu rukun sholat Jum’at?”

Pertanyaan pembuka yang dilontar Cak Fu panggilan dari Dr. Bahrul Fuad dalam bedah buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, 28 Februari 2019.

Acara bedah buku ini diadakan oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU (LBM PBNU) dengan narasumber KH. Ahmad Ishomuddin, Dr. Bahrul Fuad dan Riri Khariroh di ruang kelas gedung MA Miftahul Hida Al Azhar.

Dr. Bahrul Fuad juga menjelaskan bahwa selama ini kita memaknai disabilitas adalah orang yang memiliki kebutuhan khusus, orang yang selalu butuh pertolongan orang lain atau bahkan memaknai mereka adalah orang yang berbeda. Padahal definisi yang tepat untuk disabilitas adalah orang yang memiliki hambatan fisik juga memiliki hambatan lingkungan dan hambatan sosial.

“Hasil laporan dari WHO adalah bahwa 15% penduduk dunia memiliki disabilitas dari berbagai jenis, antara lain disabilitas mental dan disabilitas intelektual. Masalah yang pokok adalah cara pandang seseorang kepada kaum disabilitas hanya sebatas itu takdir dari Allah dan kemudian diterima dengan ikhlas dan dijalankan dengan kesabaran, ini akan melahirkan sikap diskriminasi,” tegas Cak Fu.

“Padahal sebetulnya cara pandang tersebut harus dibarengi pemahaman solusi. Tidak selalu berhenti di rukhsoh misal, bagi tuna rungu ketika sholat jumat. Tapi bagaimana masjid masjid menyediakan penerjemah bahasa isyarat ketika khutbah,” tambah Cak Fu.

Rais Syuriah PBNU KH. Ahmad Ishomudin juga menjelaskan bahwa buku ini memiliki pesan moral dan pesan akhlak yang harus diperjuangkan karena menjadi misi kenabian yakni makarimal akhlak.

“Kita harus memiliki pandangan positif bagi siapapun, termasuk pada teman teman kita yang disabilitas sehingga tidak terjadi diskriminasi kepada mereka,” jelas Kiai Ishom.

Pembicara selanjutnya adalah Riri Khariroh, M.A. pengurus PP Fatayat NU menyampaikan bahwa buku ini memang masih normatif karena membahas fiqih akan tetapi isu kekerasan berbasis gender bagi perempuan disabilitas belum banyak dibahas.

“Saya kira penting jika buku ini dikembangkan lagi hingga menyentuh masalah khusus perempuan disabilitas. Karena kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sangat banyak dan menimbulkan diskriminasi yang berlapis bagi perempuan disabilitas dan jika menjadi korban bisa lemah di mata hukum.” jelasnya. (muyas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *