Banyak Gagal Paham atas NU, Untung Ada Jasa Gus Dur!

gus dur di krapyak

Jadi warga NU memang serba salah. Dari dulu semenjak Hadrotusysyeikh KH Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya mendirikan NU atas restu Syaikhona Kholil ( ulama madura, guru ulama nusantara) NU tak lepas dari kesalahpahaman oleh pihak luar. Banyak yang gagal paham atas NU.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa salah satu alasan, meskipun tak terlalu penting, berdirinya NU adalah akibat dari pihak umat Islam modernis yang memandang sebelah mata para kiai yang dikira kolot, jumud, dan anti pembaharuan. Ini bisa dilihat ketika kelompok mereka tidak menyertakan para kiai dalam wakil konferensi umat Islam sedunia pada saat itu.

Bacaan Lainnya

Untuk mewadahi kekecewaan ini akhirnya para kiai membentuk komite sendiri. Selanjutnya NU juga semakin dipinggirkan di era orde baru masa kepemimpinan Soeharto. Padahal semua tahu dan ini fakta sejarah bahwa yang mendorong majunya Soeharto ke puncak kepemimpinan nasional adalah berkat dukungan kelompok muda NU waktu itu yang dipimpin oleh Subhan ZE, beliau Wakil Ketua MPRS masa peralihan orde lama ke orde baru. Dan kenyataannya, Subhan ZE mati secara mesterius saat beliau di Makkah.

Ketidakberpihakan semua pihak terhadap NU dan pesantren terus berlanjut di masa masa kepemimpinan Pak Harto. Di Jakarta, mungkin gak banyak yang dengar. Dulu, di daerah-daerah kalo ada pegawai Depag yang diindikasi NU tulen nasibnya akan tragis, dia akan dimutasi ke daerah pelosok.

Begitu juga nasib pesantren yang tak tersentuh bantuan sedikitpun dari pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana keluaran (out put) pesantren bisa bicara pebih banyak soal-soal di luar agama jika lembaga pendidikannya dibiarkan hidup segan mati tak mau.

Belum lagi kalau saat pemilu, warga NU yang segitu banyaknnya hanya dibutuhkan sebagai vote getter belaka dari partai-partai pemilu. Begitu selesai, ditinggal selamat jalan. Makanya saat itu ada ungkapan, kalau warga NU ketika pemilu hanya sebagai pendorong mobil, begitu jalan ditinggal.

Keadaan ini tak berubah sampai datanglah masa di mana saat itu, Gua Dur dkk merasa perlunya reformasi pemikiran NU baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Reformasi itu meliputi kembalinya NU ke Khittah 26 di mana NU adalah jamiyyah diniyah ijtimiyyah.

Khittah ini ternyata berkembang lebih jauh bukan sekedar perubahan kelamin organisasi melainkan paradigma NU. Maka segera berkembanglah pemikiran di internal NU di pelbagai bidang: agama, sosial, politik, kebudayaan dll. Sampai di sini ternyata tidak merubah opini dan penilaian pihak luar terhadap NU. Kalau dulu NU dianggap kolot, ndeso, gak tahu apa apa, gak pantes diajak bicara soal kebijakan dan pembangunan, nah begitu berubah NU dicap biang liberalisme.

Sampai segitunya mereka melihat NU sampai di tahun akhir tahun 1990-an.

Suatu saat, Gus Dur ditanya: “Gus, kira-kira siapa yang akan meneruskan kepemimpinan sampeyan?”

“Ya, kita lihat saja nanti.” Jawab Gus Dur.

Sekarang ini, kalau melihat NU bukan lagi soal agama saja. Banyak bidang sudah dikuasai warga NU, ada Prof Mahfudh MD, Prof Maksum Mahfudz, Prof Muhammad Nuh, dan lainnya.

Sekarang ini orang NU bicara teologi lingkungan, HAM, filsafat keilmuan, semua itu sama fasihnya dengan mereka membaca al-Quran dengan tujuh qiraat.

Ya memang berat jadi NU dan nahdiyyin itu.

(Penulis: KH Muhammad Yahya, Alumnus Pesantren Krapyak Yogyakarta)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *