Bagaimana Tampil Jadi Ustadz yang Elegan di tengah Kemajemukan?

kiai dan ustadz

Bagaimana semestinya seseorang tampil sebagai ustadz atau guru agama di tengah kemajemukan sekarang ini?

Max Muller dalam sebuah ceramahnya di Biara Westminster pada tahun 1983 menyatakan bahwa pada dasarnya agama-agama di dunia berkarakter dua: ada yang misionari dan non-misionari. Islam termasuk agama misionari –kita mengistilahkannya “dakwah”.

Ayat-ayat tentang berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, tersedia cukup banyak dalam al-Qur’an. Begitupun dalam khazanah hadis.

Dalam gerakan berdakwah, al-Qur’an menerakan tata caranya, yakni bil hikmah (dengan cinta), al-mau’idhah hasanah (tuturan yang baik), dan (finalnya, jika diperlukan) jadilhum billati hiya ahsan (debat, dialog, yang berbingkai kebaikan). Tiga cara itu jalannya. Dalam surat Ali Imran, diterakan batasan jalan tersebut, yakni jangan berpecah-belah dan bermusuhan. Silakan Anda cek.

Jadi, semangat berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, tidak sahih hanya disandarkan pada “mengubah keburukan jadi kebaikan” dengan cara pokoknya. Tidak. Ia memiliki kode etiknya. Dan kerucut semua cara dakwah itu beraras pada kode etik “cinta” agar terhindar dari “perpercah-belahan”.

Itu artinya, menyitir nasihat Gus Mus, seorang pendakwah bukan hanya mesti mumpuni dalam ilmu kemakrufan belaka, sebutlah menguasai ilmu agama Islam dengan luas, dari ranah dalil naqli hingga aqli, tapi juga wajib untuk mampu bermakruf. Yang pertama adalah kognisi, yang kedua adalah keteladanan. Keduanya seyogianya sublim pada diri seorang penceramah, ustadz, dan guru agama.

Jika seseorang hanya fasih menukil dalil, itu artinya ilmu tentang kemakrufan, namun lumpuh dalam lelaku kemakrufan itu sendiri, mestilah ia memilih untuk menempa diri terlebih dahulu sampai sublim kedua elemen dasar tadi. Jangan memaksakan diri! Hasilnya takkan banyak memancarkan kebaikan, malah bisa jadi kemadharatan.

Ayat yang mengecam orang yang hanya berkata (berceramah) tentang kebaikan dan kesolehan namun lumpuh dalam aspek keteladannya juga tersedia dalam al-Qur’an. Allah Swt mengistilahkannya ‘kabura maqtan’. Pun termasuk ayat yang mengecam orang yang memicu perpecah-belahan dan permusuhan dalam masyarakat, al-Qur’an mengancamnya dengan narasi: “Kepada mereka akan ditimpakan azab yang pedih….” Tak peduli seorang penceramah setenar apa pun di sosmed atau mimbar, bila memicu hal tersebut, termasuklah ia dalam golongan terkecam tersebut.

Sampai di sini, hoax sama sekali tak mendapatkan ruang kesahihan dalam berceramah, berkhutbah, dengan dalih apa pun. Hoax adalah keburukan, kerusakan. Hoax adalah dzannun, sumber pemecah-belah umat.

Maka siapa pun dainya bila menukil hoax dalam ceramah atau ucapannya dalam media apa pun, dapat disimpulkan bahwa ia bukanlah bagian dari ulama. Surat Yunus mendefinisikan ulama sebagai: innama yahsyalLaha min ‘ibadihil ulama, sesungguhnya ulama pasti takut sama Allah….

Ketika Allah melalui banyak ayat al-Qur’an melarang keras kita berprasanga, berhoax, apa gerangan kepantasan bagi kita untuk masih saja menukil dan menyebarkannya jika di hati kita benar-benar ada rasa takut kepada Allah Swt?

Lagi-lagi, baiklah, semua orang pastilah pernah silap, khilaf, dan lalai. Manusiawi. Semua orang yang pernah terjatuh pada sebuah kesilapan, selama masih hidup, selalu terbukalah baginya pintu untuk bangkit, reborn, dan kembali ke jalan yang semestinya.

Namun kiranya hal ini jangan pernah menjadikan kita ‘kewanen’ (terlalu berani) untuk gegabah menabalkan diri sebagai ustadz, guru, penceramah, bila keilmuan kita masihlah ala kadarnya (mari kita perdalam dan perluas lagi) dan keteladanan nyata kita dalam rupa arif bijaksana belumlah memadai untuk dituntunkan kepada khalayak (mari percantik lagi iman, kesalehan, dan akhlak sosialnya). Ini mutlak bagi siapa pun yang tampil sebagai pandai, penceramah, bahkan khatib Jum’at dalam skala kampung kecil sekalipun. Mengapa?

Sebab tanggung jawab kita secara moral kepada mutu kebudayaan dan peradaban umat ini sangatlah besar, melampaui personal muslim awam yang bertaklid belaka. Dan, apalagi di hadapan Allah Swt kelak.

Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, jilid pertama, menasihatkan dengan menukil hadis Nabi Muhammad Saw: “Inna asyadda ‘adzaban yaumal qiyamah ‘alimun lan ya’fa’hulLahu bi’ilmih, sesungguhnya orang yang paling pedih azabnya di hari kiamat kelak ialah orang berilmu yang ilmunya tidak Allah Swt hantarkan untuk menuju kepadaNya Swt.”

Dengan kata lain, orang yang berilmu, berceramah, namun ilmunya tak menjadikannya makin dekat kepada Allah Swt, makin menjauhkannya dari larangan-laranganNya, dialah orang yang akan sangat pedih azabnya kelak di akhirat. Nau’udzubillah min dzalik.

Semoga kita semua kelak, para ustadz kita, khatib kita, guru kita, dan pula diri kita, senantiasa diampuni oleh Allah Swt, diberiNya petunjuk dan pertolongan, hingga kelak kita menghadapNya dalam keadaan husnul khatimah. Amin.

Penulis: KH Dr Edi Mulyono, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *